AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Monday, 14 May 2012

Semangka Emas

Dahulu, di daerah Sambas terdapat kisah seorang saudagar yang kaya raya. Kekayaannya meliputi tanah berupa ladang, rumah mewah, dan harta benda yang mahal harganya. Semua penduduk kampung hormat kepadanya.
Saudagar kaya itu memiliki dua orang anak laki-laki. Si sulung bernama Muzakir, sedangkan si bungsu bernama Dermawan. Meskipun mereka lahir dari rahim ibu yang sama, namun sifat keduanya sangat jauh berbeda. Si sulung memiliki sifat serakah dan kikir, sedangkan si bungsu memiliki sifat baik hati dan suka menolong.
Suatu hari, saudagar kaya itu jatuh sakit. Ia merasa usianya sudah tidak panjang lagi. Karenanya, ia memanggil kedua anaknya. Tidak berapa lama, datanglah keduanya ke kamar ayahnya. “Anakku, sepertinya penyakitku ini sudah terlampau parah. Kurasa, usiaku tidak akan panjang lagi. Badanku pun sudah terlampau tua untuk bertahan. Oleh karena itu, aku berpesan kepada kalian untuk selalu rukun dalam menjalani hidup” ucap saudagar itu terbata-bata.
“Ayah, jangan berkata seperti itu. Ayah pasti akan sembuh,” ucap Dermawan.
“Sebelum meninggal, aku ingin mengatakan hal yang sangat penting kepada kalian. Aku sudah menulis surat wasiat mengenai pembagian harta warisan. Aku membagi hartaku dengan adil untuk kalian berdua. Jadi, kalian tidak perlu iri satu dengan yang lainnya,” pesan saudagar itu.
Beberapa hari kemudian, saudagar itu meninggal dunia. Kedua anak itu sangat sedih karena mereka tidak punya siapa-siapa lagi.
Sepeninggal sang ayah, harta warisan dibagikan sama rata. Muzakir segera membeli sebuah peti besi yang berukuran besar. Tidak lupa, ia mengunci rapat-rapat peti besi itu hingga berlapis-lapis. Uang warisan yang didapatnya dimasukkan kedalam peti tersebut. Setiap orang miskin yang datang untuk meminta sedekah darinya hanya ditertawai yang meledek. Tidak satu sen pun uang keluar dari kantongnya. Jika orang-orang miskin itu tetap tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang bawahannya untuk mengusir mereka. Tidak ada rasa iba ataupun belas kasihan dari Muzakir melihat orang-orang yang kekurangan.
Orang-orang yang miskin itu kemudian berduyun-duyun pergi ke rumah Dermawan. Di sana, mereka dijamu dengan baik. Dermawan tidak segan-segan mengeluarkan semua uangnya untuk orang yang kesusahan. Ia selalu merasa iba dengan orang yang miskin dan cacat.
Semakin lama uang Dermawan habis untuk bersedekah. Ia tidak mampu lagi untuk mengurus dan membiayai rumahnya yang cukup besar. Akhirnya, ia menjual rumahnya dan membeli rumah yang lebih kecil dibandingkan dengan rumah sebelumnya. Ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Gajinya yang tidak seberapa hanya cukup untuk makan keluarganya. Meskipun hidup cukup sederhana, hatinya tetap senang. Ia selalu bersyukur dan tidak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya dahulu sewaktu banyak memberi sedekah kepada orang miskin.
Kabar tentang kehidupan Dermawan yang tidak lagi mewah terdengar oleh Muzakir. Ia hanya tertawa melihat keadaan adiknya yang sudah tidak seperti dulu. “Dasar Dermawan bodoh. Coba kalau ia tidak menyedekahkan hartanya untuk orang-orang miskin, pasti ia tidak akan melarat seperti sekarang! Ha….ha…..ha……,” ucap Muzakir.
Kekayaan Muzakir semakin lama semakin bertambah. Ia pun sudah mulai membeli rumah yang lebih bagus dan sebuah kebun kelapa yang sangat luas. Meskipun keadaan Muzakir semakin sukses dan kaya, Dermawan tidak pernah merasa iri ataupun sakit hati. Terlebih dengan sikap kakaknya yang suka menghinanya.
Suatu hari, ketika Dermawan sedang duduk santai di halaman rumahnya, tiba-tiba jatuh seekor burung pipit tepat dihadapannya. Burung itu mencicit kesakitan. Ternyata, sayap burung pipit itu patah.
“Aduh, malang benar nasibmu. Pasti kau kesakitan dan tidak bisa terbang,” ucap Dermawan.
Dengan perlahan Dermawan mengangkat burung pipit yang malang. Ia membaringkan si pipit di selembaran daun. Lalu, ia membalut sayap burung pipit dengan selembar kain kecil. Setelah itu, diberinya segenggam beras untuk makan si pipit.
Semakin lama, burung itu menjadi jinak kepadanya. Dermawan merawat burung itu dengan penuh kasih sayang. Beberapa hari kemudian, burung pipit itu sudah mulai dapat mengibas-ngibaskan sayapnya. Akhirnya, ia sudah dapat terbang tinggi. Keesokan harinya, burung pipit itu datang mengunjungi Dermawan dengan membawa sebutir biji di paruhnya.
“Hai burung kecil, ternyata kau masih ingat aku ya. Tapi, biji apa yang kau bawa untuk ku?” tanya Dermawan.
Burung itu hanya meletakkan biji yang dibawanya di hadapan Dermawan. Melihat tingkah laku si Burung pipit yang lucu, ia tertawa geli. Dermawan memperhatikan kembali biji pemberian si burung pipit. Biji itu tampak biasa-biasa saja. Kemudian ia tanam biji itu di kebun belakang rumahnya.
Tiga hari sudah semenjak kedatangan si burung pipit Dermawan kembali melihat biji yang sengaja ia tanam di kebun belakang. Ternyata, biji itu telah tumbuh menjadi sebuah pohon semangka. Pohon itu dirawat dengan baik oleh Dermawan. Ia tidak lupa untuk menyiraminya setiap sore hingga pohon semangka itu tumbuh dengan subur.
Semula, Dermawan mengira akan banyak buah yang dihasilkan dari pohon itu. Jika pohon itu berbuah banyak, sebagian buah yang dihasilkan akan ia sedekahkan. Namun kenyataannya, buah yang muncul hanya satu meskipun berbunga sangat banyak. Tapi, yang lebih mengherankan adalah ukuran buang semangka pada umumnya. Semangka itu tampak ranum dan berbau harum.
“Wah, semangka ini besar sekali. Baunya juga sangat harum. Pasti semangka ini sangat lezat dan nikmat jika dimakan,” katanya.
Lalu, ia memetik buah semangka itu. “ Wah, berat sekali semangka ini,” ujarnya. Dengan terengah-engah Dermawan membawa semangka itu ke dalam rumahnya. Setelah diletakkan di atas meja, Dermawan membelahnya. “Ya Tuhan, apa ini?” teriak Dermawan.
Betapa terkejutnya Dermawan ketika semangka yang dibelahnya berisi pasir berwarna kuning. Dermawan memperhatikan dengan saksama pasir itu. Ternyata, pasir kuning itu adalah emas murni yang terurai. Mata Dermawan terbelalak tidak percaya. Ia sempat tertegun dan kemudian menari-nari kegirangan. Tidak berapa lama, Dermawan mendengar suara burung berkicau. Dicarilah sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari burung pipit yang pernah ditolongnya.
“Terima kasih burung pipit,” ucap Dermawan.
Keesokan harinya, Dermawan membeli sebuah rumah mewah dengan perkarangan yang sangat luas. Ia pun tidak segan-segan memberi makan kepada orang-orang miskin yang datang meminta sedekah ke rumahnya. Meskipun sering menyedekahkan harta, Dermawan tidak pernah jatuh miskin seperti dulu. Sebab, hartanya sangat banyak dan hasil kebunnya berlimpah hingga tidak akan habis.
Melihat keberhasilan adiknya Muzakir menjadi iri hati. “Bagaimana mungkin Dermawan yang sudah jatuh miskin dalam sekejap menjadi orang yang sangat kaya. Aku harus mencari tahu tentang hal ini,” pikir Muzakir.
Karena penasaran, keesokan harinya Muzakir bertandang ke rumah adiknya. Ia bertanya banyak hal tentang bagaimana adiknya menjadi kaya mendadak. Dengan jujur, Dermawan menceritakan kejadian yang dialaminya. Setelah mendengar kisah adiknya, Muzakir segera menyuruh bawahannya untuk mencari burung pipit yang patah kaki atau patah sayapnya.
“Kalian harus mencari burung pipit yang terluka. Carilah kemana saja sampai kalian menemukannya. Lalu, bawa ke hadapanku!” perintah Muzakir. “Baik Tuan,” jawab bawahannya.
Sudah seminggu berjalan, tapi orang-orang suruhan Muzakir belum mendapatkan burung pipit yang diminta. Muzakir sangat marah dan tidak dapat tidur tenang. Ia terus memikirkan cara agar burung pipit yang dimintanya bisa didapatkan. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya ia mendapatkan cara. Disuruhlah seseorang bawahan menangkap seekor burung pipit menggunakan pengapit. Tentu saja hal ini membuat sayap si burung pipit patah. Lalu, Muzakir berpura-pura kasihan kepada burung itu dan mengobati lukanya hingga sembuh.
Beberapa hari kemudian, burung pipit itu dapat terbang kembali. Keesokan harinya, sang burung pipit kembali ketempat Muzakir dengan membawa sebutir biji. Dengan gembira, Muzakir segera menanam biji itu di kebunnya. Ia merawat biji itu dengan sangat baik hingga tumbuh menjadi sebuah pohon semangka yang juga memiliki buah yang ukurannya sangat besar. Bahkan, jika dibandingkan dengan semangka yang ditanam di kebun Dermawan, semangka Muzakir jauh lebih besar ukurannya. Sampai-sampai ketika Muzakir memetik dan membawa buah itu ke dalam rumahnya, ia harus meminta bantuan bawahannya.
“Wah, pasti emas di dalam semangka ini lebih banyak dari emas milik Dermawan. Ha…ha…ha…,” ucap Muzakir sembil tertawa senang.
Dengan semangat, Muzakir mengambil sebilah parang. Dibelahnya semangka itu dengan hati-hati. Namun, betapa terkejutnya Muzakir ketika membelah semangka itu tiba-tiba saja menyembur lumpur hitam bercampur kotoran hingga mengenai wajahnya. Baunya pun busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir dan permadani diruangan itu terkena percikan lumpur hitam. Mendapatkan hal itu, Muzakir marah bukan kepalang. Ia pun berlari keluar sambil berteriak-teriak. Orang-orang disekitarnya hanya tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan melihat Muzakir yang kikir terkena batunya.

0 comments:

Post a Comment