AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Monday, 14 May 2012

Batu Ballah Batu Betangkup

Batu Ballah
Batu Betangkup,
Tangkupkan aku,
Anggan kakiku

Aku kemponan
Tallor Timbakol

O…Mak, O…..Mak
Ballik Udde’
Hari dah malam
Ade’ na’ nyussu

Begitulah syair dan lagu berirama pilu yang hingga kini selalu didendangkan Ketika Sang Ibu mengiringi si Dodol yang sampai waktunya akan tidur.
Didalam Syair itu dengan mudah disimak bahwa Batu Ballah itu adalah jelmaan Dewa yang mengerti akan rintihan hati seorang Ibu yang pasrah berpisah dengan kedua anak kesayangannya karena terlalu besar “rasa kepinginnya” untuk menikmati lezatnya telor timbakul di hari itu.
Lalu terjadilah dialog melalui syair yang dilantunkan gadis kecilnya, satu-satunya kakak si Bungsu yang tak henti-hentinya menangis. Oh, Mak, Oh Mak, ampunkanlah dan maafkanlah kami yang manja. Kembalilah kepada kami, Mak. Jangan dekati Batu Ballah itu. Kasihanilah adik kelaparan susu menangis sedari tadi. Oh Mak, Oh Mak, kemarilah, jauhilah Batu Ballah itu. Kami takut mendekat ke sana.
Begitulah mengawali cerita rakyat Pantai Tanjung Batu yang terkenal itu. Disana pernah hidup tiga anak manusia, yaitu seorang ibu yang sudah menjanda, bernama Mak Risah dengan kedua anaknya yang sulung perempuan bernama Long Ijun dan yang bungsu laki-laki bernama Su Pisok.
Mereka hidup berkasih-kasihan dan senantiasa bertawakkal menerima kadar yang serba kekurangan sejak ditinggal pergi sang ayah yang sudah lama tiada. Ditempat yang jauh dari keramaian itulah keluarga kecil ini menjalani sisa-sisa hidup dalam penderitaan. Tertutup kepala terbuka kaki, tertutup kaki terbuka kepala. Kesulitan yang tidak bertepi membuat Mak Risah kadang-kadang putus asa. Terlebih lagi si Bungsu selalu saja menangis, sementara Long Ijun yang sangat menyayanginya hampir kehabisan waktu membantu ibunya selain menjaga dan merawat si manja yang hanya seorang itu.
Pada suatu hari Mak Risah berkata kepada putri sulungnya itu. “Nak! Jaga adikmu baik-baik, mak hendak pergi mencari telur Timbakul.” Setelah itu iapun pergi ke bibir pantas yang airnya sedang kering. Kebetulan banya sekali ikan Timbakul dihari itu. Hanya sayangnya belum kelihatan Timbakul yang bertelur. Namun terhibur sejenak hati Mak Risah melihat Timbakul yang berkejar-kejaran karena ikan tiu dapat hidup di dua alam. Dipantai yang sekali-kali dilebur ombak tampak jelas ia berjalan dengan sirip dan ekornya dengan dua matanya yang besar dan menonjol.
Setelah mendapat telor yang cukup banyak untuk mereka bertiga lalu pulanglah Mak Risah ke pondok yang reot, didapatinya kedua anaknya sedang asik bermain. Rupanya mereka kehabisan kayu bakar yang biasanya di cari ijun dan pisok sambil bermain, demikianpun garam dan kunyit untuk merempahi telor yang diperolehnya itu. Ketika itu iapun berpesan kepada putrinya, “Mak ke hutan dulu mencari kayu. Telor sudah Mak rebus, kalau sudah masak supaya diangkat, nanti baru diberi rempah dan kita makan bersama,” katanya. Long Ijun mengangguk sambil menepuk-nepuk paha adiknya dalam gendongan. Setelah itu Mak Risah pun pergi. Sebetulnya ia sangat lapar dan letih, tetapi siapa lagi yang mengerjakan itu semua?
Sepeninggal maknya, Su Pisok pun minta makan karena sejak pagi belum merasakan apapun juga belum sempat menyusu pada Mak nya. Long Ijun ingat pesan Mak nya sebab telur belum diberi rempah. Akan tetapi karena adiknya tak henti-hentinya menangis, ibalah hatinya. Lagi pula apalah dayanya. Ia hanya seorang gadis kecil yang tidak dapat berbuat banyak. Tambahan lagi perutnya sendiri terasa menggigit-gigit kelaparan. Hari sudah tinggi, mak yang ditunggu-tunggu belum lagi pulang. Karena tidak tahan melihat adiknya yang tak henti-hentinya menangis, lalu diambilnya panci yang terjerang diatas tungku itu. Melihat telur berwarna kuning menusuk hidung, mula-mula diambilnya sedikit, lama kelamaan sang kakak pun turut merasakan. Keadaan dalam kelaparan itu membuat Long Ijun lupa pesan maknya dan khilaf tidak meninggalkan untuk maknya walau sedikitpun. Selesai makan keduanya mengantuk lalu tertidur.
Sepulangnya Mak Risah dari mencari kayu dah rempah, betapa ia sangat terkejut melihat telur Timbakul yang tidak lagi tersisa. “Sampai hati kau Jun, Mak tidak disisakan sedikitpun,” katanya mengeluh sambil duduk berpangku tangan di bendul pintu. “Su Pisok menangis terus Mak. Sejak pagi kelaparan susu. Ijun pun juga lapar Mak, sampai lupa meninggalkan barang sedikit untuk Mak”. “
“Tapi Mak pun juga lapar sekali, sedari pagi belum merasakan apa-apa. Mak mengira sepulang mencari kayu, kita makan bersama-sama.”
Long Ijun sedih sekali mendengar uraian Mak itu. Sekarang apa yang harus dimasak Mak lagi, telur Timbakul sudah habis. Hendak mencari lagi, air laut sudah pasang dan ikan Timbakul sudah pergi ke tempat yang jauh mencari pantai berlumpur lain. “Maafkan kami Mak, kami telah berdosa….”
Mak Risah menangis pilu, sedih sekali “Sudah lah Jun, Mak sudah kemponan….” katanya teramat sedih karena keinginan dan harapannya telah putus sehingga kemponan. Ia bangkit perlahan, kemudian berjalan lamban menuju Tanjung Batu. Jalannya kemudian semakin cepat, Akhirnya ia meraung, menangis sambil berlari. Sesampainya di mulut Batu Ballah, ia pun memohon :
Batu Ballah
Batu Betangkup,
Tangkupkan aku
Anggan kakiku,
Aku Kemponan
Tallor Timbakul
Toop…. bunyi suara Batu Ballah menangkup kedua kaki Mak Risah. Mendengar suara itu Long Ijun pun menangis sambil berlari menggendong Pisok yang juga menangis.
“Oh Mak, Ballik Uddek.
Hari dah malam, Adek nak nyussu”
“Tidak, aku tak mau pulang. Kamu berdua jahat, tak sayang dengan Mak,” jawab Mak Risah sementara kedua kakinya sudah tertangkup Batu Ballah, lalu ia memohon lagi.
“Batu Ballah, Batu Betangkup.
Tangkupkan aku, Anggan parrutku
Aku Kemponan, Tallor Timbakul”
Demikianlah seterusnya sehingga ditangkup bagian perutnya, lalu lehernya. Melihat itu Long Ijun memberanikan diri menyelamatkan Maknya, tapi terlambat. Yang didapatkannya hanya rambut maknya yang panjang terurai.
“Oh Mak, Oh Mak. Tunggu lah Kami. Tega nian mak tinggalkan kami, adik kecil kelaparan susu”
“Oh Mak, Oh Mak. Hari sudah malam, pulanglah Mak.”
Tapi Mak Risah Sudah tak mau mendengar lagi.

0 comments:

Post a Comment