Batu BallahBatu Betangkup,Tangkupkan aku,Anggan kakikuAku kemponanTallor TimbakolO…Mak, O…..MakBallik Udde’Hari dah malamAde’ na’ nyussu
Begitulah syair dan lagu berirama pilu
yang hingga kini selalu didendangkan Ketika Sang Ibu mengiringi si Dodol
yang sampai waktunya akan tidur.
Didalam Syair itu dengan mudah disimak
bahwa Batu Ballah itu adalah jelmaan Dewa yang mengerti akan rintihan
hati seorang Ibu yang pasrah berpisah dengan kedua anak kesayangannya
karena terlalu besar “rasa kepinginnya” untuk menikmati lezatnya telor
timbakul di hari itu.
Lalu terjadilah dialog melalui syair yang
dilantunkan gadis kecilnya, satu-satunya kakak si Bungsu yang tak
henti-hentinya menangis. Oh, Mak, Oh Mak, ampunkanlah dan maafkanlah
kami yang manja. Kembalilah kepada kami, Mak. Jangan dekati Batu Ballah
itu. Kasihanilah adik kelaparan susu menangis sedari tadi. Oh Mak, Oh
Mak, kemarilah, jauhilah Batu Ballah itu. Kami takut mendekat ke sana.
Begitulah mengawali cerita rakyat Pantai
Tanjung Batu yang terkenal itu. Disana pernah hidup tiga anak manusia,
yaitu seorang ibu yang sudah menjanda, bernama Mak Risah dengan kedua
anaknya yang sulung perempuan bernama Long Ijun dan yang bungsu
laki-laki bernama Su Pisok.
Mereka hidup berkasih-kasihan dan
senantiasa bertawakkal menerima kadar yang serba kekurangan sejak
ditinggal pergi sang ayah yang sudah lama tiada. Ditempat yang jauh dari
keramaian itulah keluarga kecil ini menjalani sisa-sisa hidup dalam
penderitaan. Tertutup kepala terbuka kaki, tertutup kaki terbuka kepala.
Kesulitan yang tidak bertepi membuat Mak Risah kadang-kadang putus asa.
Terlebih lagi si Bungsu selalu saja menangis, sementara Long Ijun yang
sangat menyayanginya hampir kehabisan waktu membantu ibunya selain
menjaga dan merawat si manja yang hanya seorang itu.
Pada suatu hari Mak Risah berkata kepada
putri sulungnya itu. “Nak! Jaga adikmu baik-baik, mak hendak pergi
mencari telur Timbakul.” Setelah itu iapun pergi ke bibir pantas yang
airnya sedang kering. Kebetulan banya sekali ikan Timbakul dihari itu.
Hanya sayangnya belum kelihatan Timbakul yang bertelur. Namun terhibur
sejenak hati Mak Risah melihat Timbakul yang berkejar-kejaran karena
ikan tiu dapat hidup di dua alam. Dipantai yang sekali-kali dilebur
ombak tampak jelas ia berjalan dengan sirip dan ekornya dengan dua
matanya yang besar dan menonjol.
Setelah mendapat telor yang cukup banyak
untuk mereka bertiga lalu pulanglah Mak Risah ke pondok yang reot,
didapatinya kedua anaknya sedang asik bermain. Rupanya mereka kehabisan
kayu bakar yang biasanya di cari ijun dan pisok sambil bermain,
demikianpun garam dan kunyit untuk merempahi telor yang diperolehnya
itu. Ketika itu iapun berpesan kepada putrinya, “Mak ke hutan dulu
mencari kayu. Telor sudah Mak rebus, kalau sudah masak supaya diangkat,
nanti baru diberi rempah dan kita makan bersama,” katanya. Long Ijun
mengangguk sambil menepuk-nepuk paha adiknya dalam gendongan. Setelah
itu Mak Risah pun pergi. Sebetulnya ia sangat lapar dan letih, tetapi
siapa lagi yang mengerjakan itu semua?
Sepeninggal maknya, Su Pisok pun minta
makan karena sejak pagi belum merasakan apapun juga belum sempat menyusu
pada Mak nya. Long Ijun ingat pesan Mak nya sebab telur belum diberi
rempah. Akan tetapi karena adiknya tak henti-hentinya menangis, ibalah
hatinya. Lagi pula apalah dayanya. Ia hanya seorang gadis kecil yang
tidak dapat berbuat banyak. Tambahan lagi perutnya sendiri terasa
menggigit-gigit kelaparan. Hari sudah tinggi, mak yang ditunggu-tunggu
belum lagi pulang. Karena tidak tahan melihat adiknya yang tak
henti-hentinya menangis, lalu diambilnya panci yang terjerang diatas
tungku itu. Melihat telur berwarna kuning menusuk hidung, mula-mula
diambilnya sedikit, lama kelamaan sang kakak pun turut merasakan.
Keadaan dalam kelaparan itu membuat Long Ijun lupa pesan maknya dan
khilaf tidak meninggalkan untuk maknya walau sedikitpun. Selesai makan
keduanya mengantuk lalu tertidur.
Sepulangnya Mak Risah dari mencari kayu
dah rempah, betapa ia sangat terkejut melihat telur Timbakul yang tidak
lagi tersisa. “Sampai hati kau Jun, Mak tidak disisakan sedikitpun,”
katanya mengeluh sambil duduk berpangku tangan di bendul pintu. “Su
Pisok menangis terus Mak. Sejak pagi kelaparan susu. Ijun pun juga lapar
Mak, sampai lupa meninggalkan barang sedikit untuk Mak”. “
“Tapi Mak pun juga lapar sekali, sedari
pagi belum merasakan apa-apa. Mak mengira sepulang mencari kayu, kita
makan bersama-sama.”
Long Ijun sedih sekali mendengar uraian
Mak itu. Sekarang apa yang harus dimasak Mak lagi, telur Timbakul sudah
habis. Hendak mencari lagi, air laut sudah pasang dan ikan Timbakul
sudah pergi ke tempat yang jauh mencari pantai berlumpur lain. “Maafkan
kami Mak, kami telah berdosa….”
Mak Risah menangis pilu, sedih sekali
“Sudah lah Jun, Mak sudah kemponan….” katanya teramat sedih karena
keinginan dan harapannya telah putus sehingga kemponan. Ia bangkit
perlahan, kemudian berjalan lamban menuju Tanjung Batu. Jalannya
kemudian semakin cepat, Akhirnya ia meraung, menangis sambil berlari.
Sesampainya di mulut Batu Ballah, ia pun memohon :
Batu BallahBatu Betangkup,Tangkupkan akuAnggan kakiku,Aku KemponanTallor Timbakul
Toop…. bunyi suara Batu Ballah menangkup
kedua kaki Mak Risah. Mendengar suara itu Long Ijun pun menangis sambil
berlari menggendong Pisok yang juga menangis.
“Oh Mak, Ballik Uddek.
Hari dah malam, Adek nak nyussu”
“Tidak, aku tak mau pulang. Kamu berdua
jahat, tak sayang dengan Mak,” jawab Mak Risah sementara kedua kakinya
sudah tertangkup Batu Ballah, lalu ia memohon lagi.
“Batu Ballah, Batu Betangkup.
Tangkupkan aku, Anggan parrutku
Aku Kemponan, Tallor Timbakul”
Demikianlah seterusnya sehingga ditangkup
bagian perutnya, lalu lehernya. Melihat itu Long Ijun memberanikan diri
menyelamatkan Maknya, tapi terlambat. Yang didapatkannya hanya rambut
maknya yang panjang terurai.
“Oh Mak, Oh Mak. Tunggu lah Kami. Tega nian mak tinggalkan kami, adik kecil kelaparan susu”
“Oh Mak, Oh Mak. Hari sudah malam, pulanglah Mak.”
Tapi Mak Risah Sudah tak mau mendengar lagi.
0 comments:
Post a Comment