Dalam
silsilah Kerajaan Sintang akan ditemui dengan nama Abang Tembilang.
Abang Tembilang ini memiliki seorang putra yang bernama Abang Pencin.
Abang Pencin ini bergelar Pangeran Agung atau Sultan Agung. Sultan Agung
juga berputera dua orang yaitu Pangeran tunggal atau Sultan Tunggal dan
Nyai Cili.
Oleh karena Sultan Tunggal tidak
berputra, maka putranya Nyai Cili yang bersuamikan dengan Kiyai Adipati
Mangku Negara Miliki Putera Ratuan Raja Ambaloh itu yang diangkat
menjadi anaknya, putra Nyai Cili itu bernama Abang Nata. Abang Nata ini
kemudian diangkat menjadi pengganti Pangeran Tunggal dengan gelar Sultan
Nata Muhammad Syamsuddin.
Pada zaman dahulu Kota Sintang itu
dikenal dengan nama Senetang, karena disana banyak sekali sungai yang
bersenentang (berhadap-hadapan), antara lain Sungai Lebak Kawi
berhadapan dengan Sungai Durian, Sungai Lebak Tanjung berhadapan dengan
Sungai Keranjik, Sungai Lebak Bemban berhadapan dengan Sungai Pandan,
Sungai Lebak Bungur berhadapan dengan Sungai Melengka, Sungai Lebak Enau
berhadapan dengan Sungai Lekawai, Sungai Parit Gading berhadapan dengan
sungai Lempiau, Sungai Parit Kiyakas berhadapan dengan Sungai
Menyumbung, Sungai Musuka dengan Sungai Pembunuh, dan Sungai Melawi
degnan Sungai Senentang serta Sungai Kapuas berhadapan dengan Sungai
Kapuas Pontianak.
Suatu hari Mangku Milek bercerita kepada kawan-kawannya.
“Ke udik Sungai Kapuas sampai ke uncaknya
sekali telah kita ketahui, tapi ke hilirnya di sana ada apa lagi, kita
belum pernah melihatnya. Apakah ada kawan-kawan yang ingin ikut dengan
aku karena aku akan pergi melihatnya?” kata Mangku Milek kepada
kawan-kawannya.
Kiranya kawan-kawan Mangku Milek itu
berpikiran yang sama hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk
menyampaikan maksud hati mereka untuk melakukan yang demikian karena
mereka takut diolok-olok dan akan dikatakan seperti pungguk merindukan
bulan.
Oleh karena sekarang ini yang pertama
kali menyampaikan maksud dan keinginan seperti itu adalah Mangku Milek,
maka secara serempak mereka memberikan dukungan. Mereka merasa “pucuk
dicinta ulampun Tiba”, demikian yang tersirat di dalam hati mereka
masing-masing. Mereka segera menyatukan pendapat dan membulatkan tekad
untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Lalu mereka membuat
rakit yang kuat karena mereka menyadari bahwa perjalanan mereka itu
sangat jauh dan belum diketahui ujung pangkalnya. Mereka membawa bekal
sedemikian rupa banyaknya. Babi-babi peliharaan mereka itu disembelih,
dagingnya disalai dan dipekasam. Sedangkan lemaknya ditampung untuk
menggosok atau mengolesi parang atau senjata yang selesai ditempa supaya
tidak dimakan karat.
Selain itu untuk penerangan, mereka
pergunakan damar karena pada waktu itu belum ada pelita. Setelah segala
sesuatu siap, lalu merekapun berangkat pada hari yang mereka anggap
baik. Mereka meninggalkan kampung halamannya. Mereka dilepas dengan
lambaian tangan keluarga mereka yang masih menetap di kampung itu dan
para tetangga yang ikut serta mengantar keberangkatan mereka di pinggir
sungai.
Berhari-hari mereka mengikuti arus
sungai, dan jika dalam perjalanan itu terlihat ada perkampungan
penduduk, mereka singgah sambil menawarkan jasa menempa parang dan alat
kerja lainnya. Hal ini mereka lakukan karena ingin mencari keterangan
tentang kampung mereka datangi itu. Setelah sekian lama mereka
mengadakan perjalanan, kian hari kian menjauh dari kampung halamannya
sendiri. Kini mereka benar-benar berada di daerah yang asing sama
sekali. Hal itu tidak membuat mereka menjadi risau karena tekad mereka
suda bulat, sampai dimanapun dibawa arus tidak menjadi persoalan
baginya.
Sudah berbulan-bulan mereka mengadakan
perjalanan mengikuti air sungai, hingga pada suatu ketika mereka tiba
disuatu kampung besar yang bernama Senentang. Di Kampung itu penduduknya
ramai dan banyak yang ingin dibuatkan parang sehingga mereka betah
tinggal disana.
Di kampung yang baru ini, hati Mangku
Milek tertarik bukan dengan banyaknya gadis-gadis yang cantik tetapi
oleh adanya kokok ayam di waktu subuh. Kokok ayam itu bukannya kokok
ayam kinantan yang dapat dimakan melaikan suara manusia yang meniru
kokok ayam itu. Hal ini dilakukan berkali-kali. Mereka mengira suara
kokok ayam itu adalah ulah anak-anak nakal saja. Tetapi lama kelamaan
telinga Mangku Milek menjadi gatal juga untuk membalas suara tersebut.
“Macam kau saja yang padan berkokok,” ujar Mangku Milek dalam hatinya.
Mungkin hatinya sudah sangat geram, kokok
ayam manusia itu dijawab beberapa kali. “Baru tau dia, bahwa kita juga
ahli berkoko,” katanya kepada kawan-kawannya sambil tertawa
terbahak-bahak.
Ketika hari pagi, mereka bekerja seperti
biasanya, yakni menempa alat-alat kerja pesanana orang dengan asiknya
dan tidak terasa matahari mulai meninggi, tiba-tiba ada hamba Raja
muncul dan membuat mereka kaget. Lalu hamba Raja itu dengan sikap yang
sopan bertanya siapa yang berkokok di rakit pada pagi hari tadi. Mangku
Milek dengan tenang menjawab.
“Saya lah yang berkokok tuan,” katanya dengan nada ringan.
“Kalau begitu, saudara akan kami bawa untuk menghadap sang raja,”
Tanpa mengeluarkan lagi sepatah kata
Mangku Milek dengan kawan-kawannya pergi untuk menghadap ke Istana Raja.
Sesampai di sana mereka segera dihadapkan kepada raja. Dihadapan raja
mereka menyembah terlebih dahulu lalu berkata:
“Patik semua datang dari Udik Kapuas,
datang ke negeri ini untuk melihat dunia yang lebih luas dari tempat
kediaman kami sendiri, apa titah tuanku akan kami junjung,” demikian
Kata Mangku Milek mewakili teman-temannya.
Rajapun mengangguk-angguk sambil menoleh
ke pengawalnya yang besar tinggi, kekar, hitam lebam laksana induk pipit
dengan matanya yang liar seperti mata burung elang. Ia Cuma
menyeeringai dan perasaan hatinya senang karena melihat bakal yang
dilawan dianggap sebagai ayam kampung yang tak bertaji. Artinya pengawal
Raja itu menganggap enteng Mangku Milek yang berperawakan kecil, putih
bersih dan serta seperti tak berdaya apa-apa.
Melihat pengawalnya yang hanya tersenyum girang itu, Raja bertanya kembali.
“Siapa namamu, dari mana asalmu, apa kerja kamu disini,” tanya raja kepada Mangku Milek.
Semua pertanyaan yang dilontarkan raja
dengan hati-hati dan hormat dijawab oleh Mangku Milek. Ia menyadari
dirinya berhadapan dengan seorang raja yang mempunyai kekuasaan.
Dengan melihat sekali lagi pada pengawalnya yang seram itu, raja menukas.
“Tahukah anda ariti kokok di pagi hari itu?”
“Ampun tuanku Raja. Hamba tidak tahu tuanku.”
“Kokok itu adalah kokok ayam Kinantanku ini,” kata Raja sambil melirikkan matanya ke pengawalnya yang selalu siap di sampingnya.
“Siapa yang telah menjawab bunyi kokokannya berarti dia siap untuk diadukan dengannya” perintah raja tersebut.
“Harap diampun tuanku, hamba hanya
sekedar bermain dan bercana saja. Tidak ada maksud patik mencari musuh
di daerah kekuasaan raja,” katanya dengan lirih.
“Disini segala perkataan raja adalah
hukum. Alasan anda tidak bisa diterima. Sekarang anda boleh pergi dan
bersiap-siaplah untuk tampil digelanggang, waktunya akan diberitahu
kemudian,” kata sang raja kembali.
Mendengar keputusan raja yang tak
disangka-sangka itu, gemetarlah seluruh sendi Mangku Milek. Ia tak
menyangka bahwa nasibnya akan sejelek itu dan menyesal segala
perbuatannya itu.
“Aduh Milek, kenapa kamu berbuat serupa
itu, coba kamu tidak usah mencampuri urusan orang lain, tentu tidak
separah ini dan kami bisa selamat,” demikian keluhnya dalam hati.
Perasaan Mangku Milek semakin tidak
menentu, ia berjalan terhuyung-huyung, sehingga ia harus dipapah oleh
kawan-kawannya. Merekapun tidak berani berbicara karena takut akan
menambah penderitaan Mangku Milek lebih dalam, bahkan sesampai di
rakitpun mereka tidak dapat melakukan pekerjaan apapun. Perasaan mereka
seperti diliputi kegelapan. Berhari-hari hal ini terjadi, mereka menjadi
gelisah memikirkan lawan yang bakal dihadapi oleh Mangku Milek. Melihat
misainya saja hati telah kecut, apalagi melihat badannya yang kekar
laksana banteng. Bagaimana nasib Mangku Milek nantinya apabila
berhadapan dengan pengawal raja itu.
Pada suatu pagi, Mangku Milek mengejutkan kawan-kawannya.
“Terserah,” katanya dengan keras.
“Apanya yang terserah,” kata kawannya bertanya.
“Aku sudah mengambil keputusan. Apapun
dan siapapun dia, aku tak peduli. Aku berpikir bahwa semua manusia akan
mati dan kita tidak tahu bagaimana kita akan mati itu. Aku akan melawan
dia sebagai seorang laki-laki. Tekadku sudah bulat dan aku harus menang
dalam pertarungan ini. Sekarang jangan dipikirkan hal ini karena akan
membuat susah saja, saya harapkan semua untuk mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, karena kemungkinan kita semua akan berhadapan dengan
orang-orangnya raja itu,” tukas Mangku Milek kepada kawan-kawannya.
Mendengar penuturan Mangku Milek seperti
menambah semangat kawan-kawannya itu. “Berangkat bersama-sama dan kalau
harus matipun kita akan bersama-sama pula,” jawab kawan-kawannya.
Melihat kegembiraan, seolah-olah kata
mati itu tidak ada artinya. Mereka bekerja seperti biasa dan bersiap
untuk menghadapi pertarungan nantinya, lama mereka menunggu waktu
pelaksanaan pertandingan antara Mangku Milek dengan orang suruhan raja
itu dan akhirnya sampai juga pada waktu yang telah dinantikan.
Tak lama kemudian, datang dua orang
utusan raja untuk memberitahukan kepada Mangku Milek untuk bersiap-siap,
karena tiga hari lagi gelanggang akan dibuka dan pada hari itu pula
mereka akan datang menjemput Mangku Milek dan kawan-kawan.
Mangku Milek telah bersiap sedia,
jangankan tiga hari lagi, hari ini saja jika pertarungan itu ingin
dilaksanakan ia pun sudah siap untuk bertanding. Kesiapannya itu
ditandai dengan sunggingan senyumnya. Hal ini pula yang membuat kawannya
menjadi tegap pikiran dan kian bulat tekadnya untuk memenangkan
pertarungan ini.
“Memang panas ia menjadi seorang ketua
atau raja karena sifatnya yang bijaksana dan selalu menenangkan hati.
Apapun yang terjadi, sudah menjadi nasib kami, kami akan selalu
bersamamu,” demikian kata kawan-kawannya kepada Mangku Milek.
Sekali lagi Mangku Milek memeriksa segala
alat senjata dan perlengkapan-perlengkapan yang akan dipakainya di
gelanggang kelak. Labung kepalanya telah dihiasai dengan bulu tinggang (enggang
raja) dan hiasan-hiasan lain sehingga sangat indang di pandang mata.
Baju kulit kayu pusaka, warisan dari orang tuanya dicoba sekali lagi.
Serat benang baju itu kasar tetapi lemas, sangat kuat, dan ada kekuatan
magis di dalamnya yaitu apabila dipakai maka akan terasa kebal terhadap
senjata tajam. Model bajunya seperti rompi, tidak sampai menutup hulu
mandaunya jika pakaian itu dikenakan. Lengannya pendek saja, sehingga
sangat leluasa untuk bergerak. Cawat yang akan dipakainya pun telah
dipilihnya yang terbaik yang ia miliki. Ia memutuskan bahwa pakaian ini
yang akan dikenakannya pada saat pertarungan nanti.
“Siapa tahu aku akan mati nanti, jangan
sampai pakaian yang aku kenakan itu compang-camping dilihat orang,”
bisiknya di dalam hati.
Ia sudah mantap dan yakin bahwa ia akan memenangkan pertarungan ini.
Hari yang dinantikan itupun telah tiba.
Dua orang suruhan raja telah menjemputny. Mangku Milek telah berpakaian
sebaik-baiknya, laksana seorang panglima perang. Ia memang tidak sekekar
badan lawannya, tetapi perawakannya yang lampai dan liut seperti belut
tak boleh dianggap enteng. Ia biasa berburu di hutan lebat dan sangat
tangkas jika ia bergerak sekalipun sedang berada di dalam hutan rimba.
Ini adalah modal utamanya, tetapi pertimbangannya adalah yang kuat itu
tidak boleh dilawan dengan kekuatan pula karena dua kutub ini akan
beradu keras. Ia mungkin tidak bisa tahan bertabrakan dengan lawannya
yang kekar itu.
“Harus pakai siasat,” kata hati mengajarinya.
Sesampainya di gelanggang, ruangan itu
telah penuh dengan penonton. Maklum, pertarungan seperti ini merupakan
hal yang langka terjadi. Rakyat hanya menyesalkan, karena lawan yang
lemah gemulai ini harus berhadapan dengan orang tubuhnya kekar seperti
raksasa.
“Tak adil,” kata hati mereka bergumam.
“Kalau begini lawannya, tak seru
pertandingannya, coba kalau,” ungkap mereka terputus karena para jago
mulai memasuki palangan. Jago raja disediakan tempat agak sebelah kanan
raja. Sedangkan lawannya yakni Mangku Milek ditempatkan pada posisi
sebelah kiri raja. Singgasana raja masih kosong, karena raja belum tiba.
Di belakang mereka berderet pengawal-pengawal raja yang lain penuh
siaga.
Tak lama kemudian raja pun tiba. Semua
rakyat berdiri menyambut kedatangan raja beserta permaisuri dan adik
raja yang cantik jelita. Semua mata memandang ke arah balkon raja, bukan
ingin melihat raja, tetapi mereka seperti terkena sihir oleh pandangan
mata Dara Juwita adik raja yang aduhai itu
“Hidungny mancung, pipinya seperti pauh
di layang, matanya bak bintang timur, alisnya lentik bak…….., ahh tak
akan jemu mata memandang. Ia bagaikan bidadari yang turun dari
kayangan,” desis kagum para pemuda yang memandang parasnya.
“Kenapa ia harus hadir di gelanggang?” bisik yang lain berkomentar.
Rakyat bersorak gegap gempita dan
masing-masing memegang jaago dan bertaruh mengenai siapa yang bakal
keluar sebagai pemenang. Melihat keadaan peserta yang tidak berimbang,
menyebabkan banyak yang berpihak kepada orang yang dijagokan raja
tersebut. Siapa yang tidak kenal dengan kekuatan dan kekebalannya, belum
lagi silat cinanya yang terkenal itu, tak ada yang dapat menandinginya.
Adat dunia tidak selamany berpihak kepada yang kuat dan perkasa. Atas
pertimbangan-pertimbangan lain, ada juga yang berpihak kepada Mangku
Milek sehingga suara yang memilih masing-masing jago tersebut berimbang.
Sejenak raja bertahta, beliau bertepuk
tiga kali sebagai pertanda pertandingan pemanasan akan segera di mulai.
Pengatur acara mengumumkan syarat-syarat pertandingan dan hadiah yang
akan diterima oleh pemenang pertandingan ini.
Untuk babak pemanasan, pertama kali
dipersilahkan Mangku Milek, sang penantang tampil ke gelanggang.
Kemudian turunlah Mangku Milek dengan kesederhanaannya. Ia menjura
bebera kali kepada raja dan permaisuri serta adik raja yang dalam waktu
sekejap saja sudah menaklukkan hatina. Ia bertekad akan bertanding
dengan sepenuh hati demi dewi yang turun dari langit itu.
“Nyawaku sangat murah jika dibandingkan
dengan senyumnya saja. Apalagi jika….,” kata hatinya sambil menelan air
ludah karena tidak berani untuk melanjutkan kata-katanya karena ia
menyadari bahwa ia hanya seorang anak desa yang datang dari jauh
Ia menari, meniru gerakan burung hantu
yang menari ketika terang bulan. Tariannya sekedar berputar-putar,
seperti mengelilingi sebuah benda. Orang tua di kampung berpantun pada
saat seperti ini.
“Tak tampi bergendang capan, hantu menari dirandang bulan” bunyi pantun pada saat menirukan gerakan burung hantu itu.
Sedangkan burung elang menari pada malam ini, sayapnya mengepak-ngepak sehingga menimbulkan suara bab…bab…bab……
Melihat tarian Mangku Milek yang lemah
gemulai, menyebabkan jago raja tersenyum. Ia menyesal mendapat lawan
yang lebih layak untuk direbus dari pada di lawan di tengah gelanggang
ini. Lawan seperti Mangku Milek ini dianggapnya sebelah mata saja. Ia
sudah merasa di atas angin dengan mudah dapat memenangkan pertandingan
ini.
Ketika jago raja harus melihatkan
kebolehannya, ia sengaja memamerkan kepandaiannya. Dengan gesit ia
melompat dan tendangan kakinya menderi laksana angin puyuh. Ia bergerak
lincah laksana burung sikatan. Akhirnya ia menutup gerakannya dengan
bersimpuh ke panggung raja. Rakyat pun bersorak lagi dengan riuh rendah.
Pengatur acara mempersilahkan jago-jago
yang baru itu tampil terlebih dahulu. Mereka keluar berpasang-pasangan
sambil menunjukkan kebolehannya. Siapa yang terluka diseret ke pinggir
dan bagi pemenangnya diberi hadiah dan kenaikan pangkat sekaligus. Pada
masa itu belum ada hadiah yang berbentuk piala.
Sebesar-besarnya jasa yang disumbangkan
kepada raja hanya akan memperoleh kenaikan pangkat saja dan hal itu pun
tergantung kepada selera raja. Kalah raja lagi senang, orang yang
berjasa itu akan diberi hadiah lebih banyak lagi, tetapi pada saat
hatinya sedang runyam, yang banyak berjasa sekalipun hanya akan mendapat
hadiah yang sedikit saja. Adil hanya diperut bukan di kepala. Apa mau
dikata, itulah kehidupan dunia, yang penuh dengan ketidakadilan.
Hari beranjang siang dan sekali lagi raja
bertepuk tangan pertanda pertarungan akan segera dimuali. Dua orang
jagoan itu mulai naik ke gelanggang.
Meskipun keduanya sama-sama memiliki
keahlian masing-masing, namun dalam menampilkan kehebatannya itu sangat
berbeda. Orang yang dijagokan raja itu tampil dengan penuh keperkasaan
seperti ingin menerkam lawan, sedangkan Mangku Milek tampil dengan
kesederhanaannya dan berhati-hati serta tidak menunjukkan kesombongan
dalam mengambil langkah.
Mereka bersama-sama menghaturkan sembah
ke hadapan raja. Raja hanya mengangguk pertanda bahwa beliau merestui
pertandingan ini dimulai. Kedua peserta berputar-putar terlebih dahulu
sambil mengentai kelemahan lawan.
Mangku Milek memegang prinsipnya dengan
teguh. Ia tidak akan mendahului lawan, tetapi akan selalu memancing agar
lawan semakin penasaran ia menari-nari seperti tarian Tak Tampik
Bergendang Capan, Hantu Menari Randang Bulan. Ia hanya berputar-putar
dengan hati-hati. Hal seperti ini membuat jagoan raja itu menjadi
jengkel.
“Setan,” bisiknya di dalam hati.
“Pengecut benar kau, bisanya hanya
berputar-putar saja yang kau ketahui. Rasakan ini,” katanya dengan
membentak sambil menyeruduk seperti babi hutan yang mengamuk dengan
hebat ke arah Mangku Milek. Senjata yang digunakan si jago raja akan
disarangkan ke rusuk Mangku Milek, apa yang terjadi? Mangku Milek yang
lemah lembut itu secepat kita menghindar dan seketika itu juga membalik,
mandau yang tajam laksana pangut cukur berkelebat. Tangan si jago yang
sudah telanjur terjulur dan tak sempat ditarik, cess, mandau Mangku
Milek tepat mengenai sasarannya dan tangan yang terdorong itupun kutung (putus).
Badan yang besar itu menjadi sempoyongan
dan limbung, karena bisa mandau telah naik ke kepalanya. Matanya hanya
mendelik, ia tidak percaya bahwa kekebalannya itu sudah terbuka oleh
parang yang dianggapnya hanya layak untuk memotong ilalang. Ia gemetar
hebat dan tak lama kemudian terjerembab jatuh ke bumi. Rakyat sunyi
senyap tak berani mengeluarkan suara, semua terkesima dan terpana.
Mereka tidak mempercayai kejadian itu. Bada yang kekar dapat dikalahkan
oleh badan yang lemah gemulai. Sungguh luar biasa dan keajaiban terjadi
pada saat itu.
Melihat lawannya sudah tidak bergerak
lagi, Mangku Milek menghaturkan sembah kepada raja dengan takzimnya
serya melirik kepada adik raja yang cantik itu. Mereka saling
berpandangan dan menebar senyum.
Rajapun memberi isyarat agar ia datang
mendekat, lalu disarungkan mandau nya yang masih berlumur darah. Ia
datang menghadap raja dengan langkahnya yang tegap. Ia tidak menyangka
siasatnya berhasil dengan baik. Bukan ia tidak bisa tampak perkasa
tetapi ia merupakan suatu tipu muslihat. Siapa cermat dia dapat. Musuh
yang galak tak kena dilawan dengan pukul tetapi dengan akal. Akal akan
mengalahkan semua yang ada, demikian petuah yang diterima Mangku Milek
dari orang tuanya ketika ia hendak mengayunkan langkah meninggalkan
kampung halamannya. Kini akal itu telah berjaya, ia keluar sebagai
pemenang.
Sesampainya di hadapan raja, raja langsung menepuk-nepuk pundaknya.
“Sejak awal aku telah mengira bahwa
engkau akan keluar sebagai pemenang. Kuucapkan selamat dan aku akan
memenuhi janjiku. Ikutlah kami ke istana,” ajak sang raja kepada Mangku
Milek.
Mangku Milek tak mampu menahan senyumnya,
ketika Cara Juwita menatap matanya, demikian juga dengan Dara Juwita.
Dada mereka bergelombang hebat karena darah muda yang mengumbar asmara
di hati kedua insan itu.
Itulah Mangku Milek, seorang anak desa yang telah melahirkan seorang Sultan Pertama di Kerajaan Sintang.
0 comments:
Post a Comment