AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Monday, 14 May 2012

Mangku Milek

Dalam silsilah Kerajaan Sintang akan ditemui dengan nama Abang Tembilang. Abang Tembilang ini memiliki seorang putra yang bernama Abang Pencin. Abang Pencin ini bergelar Pangeran Agung atau Sultan Agung. Sultan Agung juga berputera dua orang yaitu Pangeran tunggal atau Sultan Tunggal dan Nyai Cili.
Oleh karena Sultan Tunggal tidak berputra, maka putranya Nyai Cili yang bersuamikan dengan Kiyai Adipati Mangku Negara Miliki Putera Ratuan Raja Ambaloh itu yang diangkat menjadi anaknya, putra Nyai Cili itu bernama Abang Nata. Abang Nata ini kemudian diangkat menjadi pengganti Pangeran Tunggal dengan gelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin.

Pada zaman dahulu Kota Sintang itu dikenal dengan nama Senetang, karena disana banyak sekali sungai yang bersenentang (berhadap-hadapan), antara lain Sungai Lebak Kawi berhadapan dengan Sungai Durian, Sungai Lebak Tanjung berhadapan dengan Sungai Keranjik, Sungai Lebak Bemban berhadapan dengan Sungai Pandan, Sungai Lebak Bungur berhadapan dengan Sungai Melengka, Sungai Lebak Enau berhadapan dengan Sungai Lekawai, Sungai Parit Gading berhadapan dengan sungai Lempiau, Sungai Parit Kiyakas berhadapan dengan Sungai Menyumbung, Sungai Musuka dengan Sungai Pembunuh, dan Sungai Melawi degnan Sungai Senentang serta Sungai Kapuas berhadapan dengan Sungai Kapuas Pontianak.
Suatu hari Mangku Milek bercerita kepada kawan-kawannya.
“Ke udik Sungai Kapuas sampai ke uncaknya sekali telah kita ketahui, tapi ke hilirnya di sana ada apa lagi, kita belum pernah melihatnya. Apakah ada kawan-kawan yang ingin ikut dengan aku karena aku akan pergi melihatnya?” kata Mangku Milek kepada kawan-kawannya.
Kiranya kawan-kawan Mangku Milek itu berpikiran yang sama hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan maksud hati mereka untuk melakukan yang demikian karena mereka takut diolok-olok dan akan dikatakan seperti pungguk merindukan bulan.
Oleh karena sekarang ini yang pertama kali menyampaikan maksud dan keinginan seperti itu adalah Mangku Milek, maka secara serempak mereka memberikan dukungan. Mereka merasa “pucuk dicinta ulampun Tiba”, demikian yang tersirat di dalam hati mereka masing-masing. Mereka segera menyatukan pendapat dan membulatkan tekad untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Lalu mereka membuat rakit yang kuat karena mereka menyadari bahwa perjalanan mereka itu sangat jauh dan belum diketahui ujung pangkalnya. Mereka membawa bekal sedemikian rupa banyaknya. Babi-babi peliharaan mereka itu disembelih, dagingnya disalai dan dipekasam. Sedangkan lemaknya ditampung untuk menggosok atau mengolesi parang atau senjata yang selesai ditempa supaya tidak dimakan karat.
Selain itu untuk penerangan, mereka pergunakan damar karena pada waktu itu belum ada pelita. Setelah segala sesuatu siap, lalu merekapun berangkat pada hari yang mereka anggap baik. Mereka meninggalkan kampung halamannya. Mereka dilepas dengan lambaian tangan keluarga mereka yang masih menetap di kampung itu dan para tetangga yang ikut serta mengantar keberangkatan mereka di pinggir sungai.
Berhari-hari mereka mengikuti arus sungai, dan jika dalam perjalanan itu terlihat ada perkampungan penduduk, mereka singgah sambil menawarkan jasa menempa parang dan alat kerja lainnya. Hal ini mereka lakukan karena ingin mencari keterangan tentang kampung mereka datangi itu. Setelah sekian lama mereka mengadakan perjalanan, kian hari kian menjauh dari kampung halamannya sendiri. Kini mereka benar-benar berada di daerah yang asing sama sekali. Hal itu tidak membuat mereka menjadi risau karena tekad mereka suda bulat, sampai dimanapun dibawa arus tidak menjadi persoalan baginya.
Sudah berbulan-bulan mereka mengadakan perjalanan mengikuti air sungai, hingga pada suatu ketika mereka tiba disuatu kampung besar yang bernama Senentang. Di Kampung itu penduduknya ramai dan banyak yang ingin dibuatkan parang sehingga mereka betah tinggal disana.
Di kampung yang baru ini, hati Mangku Milek tertarik bukan dengan banyaknya gadis-gadis yang cantik tetapi oleh adanya kokok ayam di waktu subuh. Kokok ayam itu bukannya kokok ayam kinantan yang dapat dimakan melaikan suara manusia yang meniru kokok ayam itu. Hal ini dilakukan berkali-kali. Mereka mengira suara kokok ayam itu adalah ulah anak-anak nakal saja. Tetapi lama kelamaan telinga Mangku Milek menjadi gatal juga untuk membalas suara tersebut.
“Macam kau saja yang padan berkokok,” ujar Mangku Milek dalam hatinya.
Mungkin hatinya sudah sangat geram, kokok ayam manusia itu dijawab beberapa kali. “Baru tau dia, bahwa kita juga ahli berkoko,” katanya kepada kawan-kawannya sambil tertawa terbahak-bahak.
Ketika hari pagi, mereka bekerja seperti biasanya, yakni menempa alat-alat kerja pesanana orang dengan asiknya dan tidak terasa matahari mulai meninggi, tiba-tiba ada hamba Raja muncul dan membuat mereka kaget. Lalu hamba Raja itu dengan sikap yang sopan bertanya siapa yang berkokok di rakit pada pagi hari tadi. Mangku Milek dengan tenang menjawab.
“Saya lah yang berkokok tuan,” katanya dengan nada ringan.
“Kalau begitu, saudara akan kami bawa untuk menghadap sang raja,”
Tanpa mengeluarkan lagi sepatah kata Mangku Milek dengan kawan-kawannya pergi untuk menghadap ke Istana Raja. Sesampai di sana mereka segera dihadapkan kepada raja. Dihadapan raja mereka menyembah terlebih dahulu lalu berkata:
“Patik semua datang dari Udik Kapuas, datang ke negeri ini untuk melihat dunia yang lebih luas dari tempat kediaman kami sendiri, apa titah tuanku akan kami junjung,” demikian Kata Mangku Milek mewakili teman-temannya.
Rajapun mengangguk-angguk sambil menoleh ke pengawalnya yang besar tinggi, kekar, hitam lebam laksana induk pipit dengan matanya yang liar seperti mata burung elang. Ia Cuma menyeeringai dan perasaan hatinya senang karena melihat bakal yang dilawan dianggap sebagai ayam kampung yang tak bertaji. Artinya pengawal Raja itu menganggap enteng Mangku Milek yang berperawakan kecil, putih bersih dan serta seperti tak berdaya apa-apa.
Melihat pengawalnya yang hanya tersenyum girang itu, Raja bertanya kembali.
“Siapa namamu, dari mana asalmu, apa kerja kamu disini,” tanya raja kepada Mangku Milek.
Semua pertanyaan yang dilontarkan raja dengan hati-hati dan hormat dijawab oleh Mangku Milek. Ia menyadari dirinya berhadapan dengan seorang raja yang mempunyai kekuasaan.
Dengan melihat sekali lagi pada pengawalnya yang seram itu, raja menukas.
“Tahukah anda ariti kokok di pagi hari itu?”
“Ampun tuanku Raja. Hamba tidak tahu tuanku.”
“Kokok itu adalah kokok ayam Kinantanku ini,” kata Raja sambil melirikkan matanya ke pengawalnya yang selalu siap di sampingnya.
“Siapa yang telah menjawab bunyi kokokannya berarti dia siap untuk diadukan dengannya” perintah raja tersebut.
“Harap diampun tuanku, hamba hanya sekedar bermain dan bercana saja. Tidak ada maksud patik mencari musuh di daerah kekuasaan raja,” katanya dengan lirih.
“Disini segala perkataan raja adalah hukum. Alasan anda tidak bisa diterima. Sekarang anda boleh pergi dan bersiap-siaplah untuk tampil digelanggang, waktunya akan diberitahu kemudian,” kata sang raja kembali.
Mendengar keputusan raja yang tak disangka-sangka itu, gemetarlah seluruh sendi Mangku Milek. Ia tak menyangka bahwa nasibnya akan sejelek itu dan menyesal segala perbuatannya itu.
“Aduh Milek, kenapa kamu berbuat serupa itu, coba kamu tidak usah mencampuri urusan orang lain, tentu tidak separah ini dan kami bisa selamat,” demikian keluhnya dalam hati.
Perasaan Mangku Milek semakin tidak menentu, ia berjalan terhuyung-huyung, sehingga ia harus dipapah oleh kawan-kawannya. Merekapun tidak berani berbicara karena takut akan menambah penderitaan Mangku Milek lebih dalam, bahkan sesampai di rakitpun mereka tidak dapat melakukan pekerjaan apapun. Perasaan mereka seperti diliputi kegelapan. Berhari-hari hal ini terjadi, mereka menjadi gelisah memikirkan lawan yang bakal dihadapi oleh Mangku Milek. Melihat misainya saja hati telah kecut, apalagi melihat badannya yang kekar laksana banteng. Bagaimana nasib Mangku Milek nantinya apabila berhadapan dengan pengawal raja itu.
Pada suatu pagi, Mangku Milek mengejutkan kawan-kawannya.
“Terserah,” katanya dengan keras.
“Apanya yang terserah,” kata kawannya bertanya.
“Aku sudah mengambil keputusan. Apapun dan siapapun dia, aku tak peduli. Aku berpikir bahwa semua manusia akan mati dan kita tidak tahu bagaimana kita akan mati itu. Aku akan melawan dia sebagai seorang laki-laki. Tekadku sudah bulat dan aku harus menang dalam pertarungan ini. Sekarang jangan dipikirkan hal ini karena akan membuat susah saja, saya harapkan semua untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena kemungkinan kita semua akan berhadapan dengan orang-orangnya raja itu,” tukas Mangku Milek kepada kawan-kawannya.
Mendengar penuturan Mangku Milek seperti menambah semangat kawan-kawannya itu. “Berangkat bersama-sama dan kalau harus matipun kita akan bersama-sama pula,” jawab kawan-kawannya.
Melihat kegembiraan, seolah-olah kata mati itu tidak ada artinya. Mereka bekerja seperti biasa dan bersiap untuk menghadapi pertarungan nantinya, lama mereka menunggu waktu pelaksanaan pertandingan antara Mangku Milek dengan orang suruhan raja itu dan akhirnya sampai juga pada waktu yang telah dinantikan.
Tak lama kemudian, datang dua orang utusan raja untuk memberitahukan kepada Mangku Milek untuk bersiap-siap, karena tiga hari lagi gelanggang akan dibuka dan pada hari itu pula mereka akan datang menjemput Mangku Milek dan kawan-kawan.
Mangku Milek telah bersiap sedia, jangankan tiga hari lagi, hari ini saja jika pertarungan itu ingin dilaksanakan ia pun sudah siap untuk bertanding. Kesiapannya itu ditandai dengan sunggingan senyumnya. Hal ini pula yang membuat kawannya menjadi tegap pikiran dan kian bulat tekadnya untuk memenangkan pertarungan ini.
“Memang panas ia menjadi seorang ketua atau raja karena sifatnya yang bijaksana dan selalu menenangkan hati. Apapun yang terjadi, sudah menjadi nasib kami, kami akan selalu bersamamu,” demikian kata kawan-kawannya kepada Mangku Milek.
Sekali lagi Mangku Milek memeriksa segala alat senjata dan perlengkapan-perlengkapan yang akan dipakainya di gelanggang kelak. Labung kepalanya telah dihiasai dengan bulu tinggang (enggang raja) dan hiasan-hiasan lain sehingga sangat indang di pandang mata. Baju kulit kayu pusaka, warisan dari orang tuanya dicoba sekali lagi. Serat benang baju itu kasar tetapi lemas, sangat kuat, dan ada kekuatan magis di dalamnya yaitu apabila dipakai maka akan terasa kebal terhadap senjata tajam. Model bajunya seperti rompi, tidak sampai menutup hulu mandaunya jika pakaian itu dikenakan. Lengannya pendek saja, sehingga sangat leluasa untuk bergerak. Cawat yang akan dipakainya pun telah dipilihnya yang terbaik yang ia miliki. Ia memutuskan bahwa pakaian ini yang akan dikenakannya pada saat pertarungan nanti.
“Siapa tahu aku akan mati nanti, jangan sampai pakaian yang aku kenakan itu compang-camping dilihat orang,” bisiknya di dalam hati.
Ia sudah mantap dan yakin bahwa ia akan memenangkan pertarungan ini.
Hari yang dinantikan itupun telah tiba. Dua orang suruhan raja telah menjemputny. Mangku Milek telah berpakaian sebaik-baiknya, laksana seorang panglima perang. Ia memang tidak sekekar badan lawannya, tetapi perawakannya yang lampai dan liut seperti belut tak boleh dianggap enteng. Ia biasa berburu di hutan lebat dan sangat tangkas jika ia bergerak sekalipun sedang berada di dalam hutan rimba. Ini adalah modal utamanya, tetapi pertimbangannya adalah yang kuat itu tidak boleh dilawan dengan kekuatan pula karena dua kutub ini akan beradu keras. Ia mungkin tidak bisa tahan bertabrakan dengan lawannya yang kekar itu.
“Harus pakai siasat,” kata hati mengajarinya.
Sesampainya di gelanggang, ruangan itu telah penuh dengan penonton. Maklum, pertarungan seperti ini merupakan hal yang langka terjadi. Rakyat hanya menyesalkan, karena lawan yang lemah gemulai ini harus berhadapan dengan orang tubuhnya kekar seperti raksasa.
“Tak adil,” kata hati mereka bergumam.
“Kalau begini lawannya, tak seru pertandingannya, coba kalau,” ungkap mereka terputus karena para jago mulai memasuki palangan. Jago raja disediakan tempat agak sebelah kanan raja. Sedangkan lawannya yakni Mangku Milek ditempatkan pada posisi sebelah kiri raja. Singgasana raja masih kosong, karena raja belum tiba. Di belakang mereka berderet pengawal-pengawal raja yang lain penuh siaga.
Tak lama kemudian raja pun tiba. Semua rakyat berdiri menyambut kedatangan raja beserta permaisuri dan adik raja yang cantik jelita. Semua mata memandang ke arah balkon raja, bukan ingin melihat raja, tetapi mereka seperti terkena sihir oleh pandangan mata Dara Juwita adik raja yang aduhai itu
“Hidungny mancung, pipinya seperti pauh di layang, matanya bak bintang timur, alisnya lentik bak…….., ahh tak akan jemu mata memandang. Ia bagaikan bidadari yang turun dari kayangan,” desis kagum para pemuda yang memandang parasnya.
“Kenapa ia harus hadir di gelanggang?” bisik yang lain berkomentar.
Rakyat bersorak gegap gempita dan masing-masing memegang jaago dan bertaruh mengenai siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Melihat keadaan peserta yang tidak berimbang, menyebabkan banyak yang berpihak kepada orang yang dijagokan raja tersebut. Siapa yang tidak kenal dengan kekuatan dan kekebalannya, belum lagi silat cinanya yang terkenal itu, tak ada yang dapat menandinginya. Adat dunia tidak selamany berpihak kepada yang kuat dan perkasa. Atas pertimbangan-pertimbangan lain, ada juga yang berpihak kepada Mangku Milek sehingga suara yang memilih masing-masing jago tersebut berimbang.
Sejenak raja bertahta, beliau bertepuk tiga kali sebagai pertanda pertandingan pemanasan akan segera di mulai. Pengatur acara mengumumkan syarat-syarat pertandingan dan hadiah yang akan diterima oleh pemenang pertandingan ini.
Untuk babak pemanasan, pertama kali dipersilahkan Mangku Milek, sang penantang tampil ke gelanggang. Kemudian turunlah Mangku Milek dengan kesederhanaannya. Ia menjura bebera kali kepada raja dan permaisuri serta adik raja yang dalam waktu sekejap saja sudah menaklukkan hatina. Ia bertekad akan bertanding dengan sepenuh hati demi dewi yang turun dari langit itu.
“Nyawaku sangat murah jika dibandingkan dengan senyumnya saja. Apalagi jika….,” kata hatinya sambil menelan air ludah karena tidak berani untuk melanjutkan kata-katanya karena ia menyadari bahwa ia hanya seorang anak desa yang datang dari jauh
Ia menari, meniru gerakan burung hantu yang menari ketika terang bulan. Tariannya sekedar berputar-putar, seperti mengelilingi sebuah benda. Orang tua di kampung berpantun pada saat seperti ini.
“Tak tampi bergendang capan, hantu menari dirandang bulan” bunyi pantun pada saat menirukan gerakan burung hantu itu.
Sedangkan burung elang menari pada malam ini, sayapnya mengepak-ngepak sehingga menimbulkan suara bab…bab…bab……
Melihat tarian Mangku Milek yang lemah gemulai, menyebabkan jago raja tersenyum. Ia menyesal mendapat lawan yang lebih layak untuk direbus dari pada di lawan di tengah gelanggang ini. Lawan seperti Mangku Milek ini dianggapnya sebelah mata saja. Ia sudah merasa di atas angin dengan mudah dapat memenangkan pertandingan ini.
Ketika jago raja harus melihatkan kebolehannya, ia sengaja memamerkan kepandaiannya. Dengan gesit ia melompat dan tendangan kakinya menderi laksana angin puyuh. Ia bergerak lincah laksana burung sikatan. Akhirnya ia menutup gerakannya dengan bersimpuh ke panggung raja. Rakyat pun bersorak lagi dengan riuh rendah.
Pengatur acara mempersilahkan jago-jago yang baru itu tampil terlebih dahulu. Mereka keluar berpasang-pasangan sambil menunjukkan kebolehannya. Siapa yang terluka diseret ke pinggir  dan bagi pemenangnya diberi hadiah dan kenaikan pangkat sekaligus. Pada masa itu belum ada hadiah yang berbentuk piala.
Sebesar-besarnya jasa yang disumbangkan kepada raja hanya akan memperoleh kenaikan pangkat saja dan hal itu pun tergantung kepada selera raja. Kalah raja lagi senang, orang yang berjasa itu akan diberi hadiah lebih banyak lagi, tetapi pada saat hatinya sedang runyam, yang banyak berjasa sekalipun hanya akan mendapat hadiah yang sedikit saja. Adil hanya diperut bukan di kepala. Apa mau dikata, itulah kehidupan dunia, yang penuh dengan ketidakadilan.
Hari beranjang siang dan sekali lagi raja bertepuk tangan pertanda pertarungan akan segera dimuali. Dua orang jagoan itu mulai naik ke gelanggang.
Meskipun keduanya sama-sama memiliki keahlian masing-masing, namun dalam menampilkan kehebatannya itu sangat berbeda. Orang yang dijagokan raja itu tampil dengan penuh keperkasaan seperti ingin menerkam lawan, sedangkan Mangku Milek tampil dengan kesederhanaannya dan berhati-hati serta tidak menunjukkan kesombongan dalam mengambil langkah.
Mereka bersama-sama menghaturkan sembah ke hadapan raja. Raja hanya mengangguk pertanda bahwa beliau merestui pertandingan ini dimulai. Kedua peserta berputar-putar terlebih dahulu sambil mengentai kelemahan lawan.
Mangku Milek memegang prinsipnya dengan teguh. Ia tidak akan mendahului lawan, tetapi akan selalu memancing agar lawan semakin penasaran ia menari-nari seperti tarian Tak Tampik Bergendang Capan, Hantu Menari Randang Bulan. Ia hanya berputar-putar dengan hati-hati. Hal seperti ini membuat jagoan raja itu menjadi jengkel.
“Setan,” bisiknya di dalam hati.
“Pengecut benar kau, bisanya hanya berputar-putar saja yang kau ketahui. Rasakan ini,” katanya dengan membentak sambil menyeruduk seperti babi hutan yang mengamuk dengan hebat ke arah Mangku Milek. Senjata yang digunakan si jago raja akan disarangkan ke rusuk Mangku Milek, apa yang terjadi? Mangku Milek yang lemah lembut itu secepat kita menghindar dan seketika itu juga membalik, mandau yang tajam laksana pangut cukur berkelebat. Tangan si jago yang sudah telanjur terjulur dan tak sempat ditarik, cess, mandau Mangku Milek tepat mengenai sasarannya dan tangan yang terdorong itupun kutung (putus).
Badan yang besar itu menjadi sempoyongan dan limbung, karena bisa mandau telah naik ke kepalanya. Matanya hanya mendelik, ia tidak percaya bahwa kekebalannya itu sudah terbuka oleh parang yang dianggapnya hanya layak untuk memotong ilalang. Ia gemetar hebat dan tak lama kemudian terjerembab jatuh ke bumi. Rakyat sunyi senyap tak berani mengeluarkan suara, semua terkesima dan terpana. Mereka tidak mempercayai kejadian itu. Bada yang kekar dapat dikalahkan oleh badan yang lemah gemulai. Sungguh luar biasa dan keajaiban terjadi pada saat itu.
Melihat lawannya sudah tidak bergerak lagi, Mangku Milek menghaturkan sembah kepada raja dengan takzimnya serya melirik kepada adik raja yang cantik itu. Mereka saling berpandangan dan menebar senyum.
Rajapun memberi isyarat agar ia datang mendekat, lalu disarungkan mandau nya yang masih berlumur darah. Ia datang menghadap raja dengan langkahnya yang tegap. Ia tidak menyangka siasatnya berhasil dengan baik. Bukan ia tidak bisa tampak perkasa tetapi ia merupakan suatu tipu muslihat. Siapa cermat dia dapat. Musuh yang galak tak kena dilawan dengan pukul tetapi dengan akal. Akal akan mengalahkan semua yang ada, demikian petuah yang diterima Mangku Milek dari orang tuanya ketika ia hendak mengayunkan langkah meninggalkan kampung halamannya. Kini akal itu telah berjaya, ia keluar sebagai pemenang.
Sesampainya di hadapan raja, raja langsung menepuk-nepuk pundaknya.
“Sejak awal aku telah mengira bahwa engkau akan keluar sebagai pemenang. Kuucapkan selamat dan aku akan memenuhi janjiku. Ikutlah kami ke istana,” ajak sang raja kepada Mangku Milek.
Mangku Milek tak mampu menahan senyumnya, ketika Cara Juwita menatap matanya, demikian juga dengan Dara Juwita. Dada mereka bergelombang hebat karena darah muda yang mengumbar asmara di hati kedua insan itu.
Itulah Mangku Milek, seorang anak desa yang telah melahirkan seorang Sultan Pertama di Kerajaan Sintang.

0 comments:

Post a Comment