Pada zaman dahulu, di sebuah kampung
dipinggiran Sungai Sambas kecil tinggallah seorang lelaki penangkap ikan
dengan seorang istri dan beberapa orang anaknya. Mereka tergolong
keluarga miskin, yang menggantungkan penghidupannya semata-mata dari
menangkap ikan di sungai. Dari tangkapan ikan itu, lalu ditukarkan
dengan beras, minyak dan keperluan lainnya, sedangkan sebagian lagi
dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya. Menggantungkan
kehidupan semata-mata dari sungai, tidak terlalu membuat ia gembira,
namun sering pula ia kembali ke rumah tanpa membawa beras tukarannya.
Sebagai seorang penangkap ikan yang
sehari-hari senantiasa berada di sungai, hafal betul ia akan tanda-tanda
yang terdapat di sungai dan di alam ini, yang sedikit-sedikit
menentukan hasil kerjanya, seperti adanya petir, air sungai terasa
dingin, arus yang deras dan lain-lain sebagainya. Bila terdengar petir,
dapat dipastikan bahwa memancing udang tidak akan membawa hasil karena
mendengar petir udang akan bersembunyi dan enggan keluar untuk mencari
makan. Bila air sungai terasa dingin sekali, udangpun tidak akan memakan
umpan yang diletakkan dimata pancing, begitu juga bila arus sungai
begitu deras.
Suatu ketika ia mengatakan kepada
istrinya untuk membuat sebuah jala, karena kalau ia mempunyai jala, maka
bila air sungai tidak memungkinkan memancing udang, ia akan menjala
baik pada siang ataupun malam hari. Istrinya setuju rencananya itu dan
kemudian ia berusaha untuk membuat seutas jala.
Beberapa hari kemudian selesailah jala
itu dianyamnya. Ia sangat gembira setelah mempunyai jala yang cukup
besar. Dengan demikian setiap saat ia akan turun ke sungai menangkap
udang. Pada malam hari pun, menjala ikan dapat juga dilakukannya.
Bukan saja udang, ikanpun akan dapat
diperolehnya. Tetapi bila dibandingkan anataran udang dan ikan, hasil
tukarannya lebih jauh memancing udang dari pada ikan. Sesungguhnya,
menjala lebih berat dari pada memancing. Puluhan mata cincin yang
terbuat dari timah yang digantungkan diujung jala cukup berat dan
melelahkan ketika jala itu diayun dan diterbangkan ke sungai. Bahunya
terasa pega. Begitulah pada permulaan menjala itu dilakukannya, tetapi
setelah beberapa lama cincin timah yang bergayutan diujung jala itu
sudah tidak terasa berat lagi.
Pada suatu hari, sebagaimana biasanya
dengan sampan kecil itu, ia menjala di tempat yang agak jauh dari
kampungnya. Sebuah galah panjang dari batang bambu tidak lupa dibawanya.
Galah panjang itu digunakan untuk menyelam bila mana jala tersangkut
pada saat akan ditarik. Galah itu diturunkan ke air, dan setelah ia
yakin betul ujung galah itu telah tertancap didasar sungai, lalu ia
terjun sambil memeluk galah itu dan melepaskan jala dari benda-benda
yang menghalangi.
Setelah agak lama juga ia menebarkan jala
namun tak seekor ikanpun yang tersangkut dimata jalanya. Walaupun telah
terulang kali ia lakukan, namun hasilnya tetap sama saja. Hanya
beberapa helai daun yang sangkut di jalanya. Tubuh mulai terasa lelah.
Matahari telah berada di atas kepalanya, sinarnya mulai menyengat
tubuhnya. Dibukanya bungkus nasi yang dibawanya dari rumah, lalu
dimakannya. Setelah sejenak melepaskan lelah lalu mulai lagi menebarkan
jalanya. Dikayuhnya perahu ke tempat yang agak dalam. Untunglah tali
jalanya cukup panjang sehingga masih dapat mencapai dasar sungai. Telah
beberapa kali jala itu ditebarnya, namun ketika ditarik tidak ada ikan
atau udang yang sangkut. Ketika di tempat yang arus airnya begitu kuat,
saat jala akan ditariknya, ternyata jala itu tidak dapat ditariknya, ada
sesuatu yang menghalanginya, ada sesuatu yang menyangkut di mata
jalanya. Di cobanya beberapa kali menarik jala itu ke atas namun tidak
juga berhasil. Ia tidak berani menarik jalanya dengan paksa, takut nanti
jalanya akan sobek atau putus. Satu-satunya jalan itu adalah membuang
barang yang bersangkut di jala dan itu harus menyelam. Diturunkannya
galah itu, hampir saja galah bambu itu tidak mencapai dasar sungai,
ketika lelaki itu yakin bahwa galah panjang itu telah tertancap di dasar
sungai lalu ia terjun. Sambil berpegangan di galah itu ia mulai
menyelam memeriksa benda apa yang tersangkut di jalanya. Setelah
beberapa saat kemudian, iapun muncul kembali di atas air, lalu naik ke
perahu.
Dicobanya menarik jala itu ke atas.
Terasa jala mulai dapat ditariknya, tidak seberat seperti semula. Dengan
perlahan-lahan terus ditariknya. Ketika puncak jala mulai kelihatan, ia
melihat suatu benda aneh di dalam jalanya. Benda itu menyerupai tangga
kecil dan mengeluarkan cahaya terang sekali. Lelaki itu terkejut dan
terpana melihat benda aneh itu. Ditariknya terus jala itu, dan ketika
tangga itu menyentuh pinggir perahunya capat-cepat ditangkapnya.
Benarlah bahwa benda itu sebuah tangga berwarna keemasan. Tangga emas,
pikirnya dalam hati. Dengan cepat ujung taangga itu dipeganggnya.
Untunglah dipegangnya dengan kuat, sebab kalau tidak tangga itu lebih
panjang lagi, tetapi tangga itu tidak bergerak, dicobanya terus dan
terus namun hanya beranjak sedikit saja. Dalam keadaan yang demikian,
lelaki itu membayangkan suatu yang indah, ia dan keluarganya akan
menjadi orang kaya. Tangga emas itu akan dijualnya dan ia tentu
mendapatkan banyak uang. Makin panjang tangga itu dipunyainya, makin
banyak uang yang akan didapatkannya. Ia akan menjadi ora ng yang terkaya
di kampung itu. Karena ia berusaha untuk menarik tangga emas itu lebih
panjang lagi, bila mungkin seluruh tangga itu akan diambilnya.
Nun, jauh di seberang sungai bertepatan
sekali dengan tempat laki-laki itu menjala, ratusan bahkan ribuan ekor
katak berlompatan kesana kemari, seolah ikut menyaksikan apa yang sedang
dikerjakan oleh lelaki itu. Berbagai jenis katak lain berdatangan dan
bergabung dengan kelompok yang telah ada disitu. Katak-katak itu
berlompatan sambil mengeluarkan suara,
krooot….kraaaat….kraaat…..kraaaat, suara itu makin bertambah kuat jua,
kraat…..kraat…..kraat….krooot……!
Tiba-tiba turun hujan rintik-rintik.
Lelaki itu berupaya untuk menaikkan tangga itu kedalam peranhunya.
Sementara itu suara katak makin riuh dan nyaring juga. Sekitar tempat
itu telah dipenuhi suara katak-katak yang ribuan ekor jumlahnya. Tidak,
aku tidak akan “mengerat” (memotong) tangga itu, demikian tekat
laki-laki itu. Walaupun ia mulai mengerti mengenai suara katak-katak
itu. Rasa tamak dan bernafsu ingin memiliki tangga emas begitu kuatnya
merasuki jiwa laki-laki itu, karena menurut pekirannya makin panjang
tangga itu dikeluarkan dari dalam sungai tersebut, ia dapat makin kaya,
sebab itulah ia semakin berusaha untuk menarik tangga tersebut. Lelaki
itu seolah-olah sudah kemasukan setan “ingin kaya” dan bergelut dengan
tangga itu. Cahaya terang, yang dipancarkan dari dalam sungai menyebar
dan menembus rintik-rintik hujan. Diseberang sungai berbagai jenis katak
yang ribuan ekor banyaknya terus menerus mengeluarkan suaranya.
Kroot….kraaat…..kraaat……………. sambil melompat-lompat.
“Masa bodoh, hei Katak-katak celaka, apa
pedulimu menyuruhku mengerat (memotong) tangga ini. Tangga itu sudah
menjadi milikku, terserah padaku. Pecah sekalipun perutmu menyuruhku,
tangga ini tidak akan ku kerat….!” begitu teriakan laki-laki itu
membalas suara katak-katak di seberang sungai itu. Ia pun semakin
bernafsu untuk menarik tangga itu sepanjang mungkin. Perahu kecil itu
mulai bergerak ke tengah sungai. Makin panjang tangga itu muncul ke
permukaan air. Makin terang cahaya yang dikeluarkannya dan makin nyaring
pula suara katak-katak itu. Seperti memekakkan telinga yang
mendengarnya. Ketika tangga itu terangkan beberapa puluh sentimeter dan
makin panjang juga laki-laki itu langsung memeluk tangga tersebut.
Perahunya mulai miring ke samping dan tiba-tiba terdengar bunyi seperti
barang terjatuh ke sungai dengan mengeluarkan suara cukup kuat, kemudian
hilang kembali.
Perhau kecil dan laki-laku itu tidak
kelihatan pula, air sungai di tempat itu berputar-putar dengan derasnya
dan membuat bentuk seperti kerucut terbalik. Disitu seperti berbentu
sebuah sujur yang sangat dalam. Hujan rintik sudah berhenti. Alam
bening, tenang. Suara katak yang riuh rendah kini hilang sama sekali.
Ribuan ekor katak-katak itu pergi entah kemana. Matahari telah bergerak
ke arah barat, dengan cahanyanya mulai kemerah-merahan.
Demikian lah peristiwa yang menimpa
laki-laki itu. Keinginannya menjadi orang yang kaya di kampung itu
dengan memiliki tangga emas dimaksudkan tidak tercapai dan menjadikan ia
lupa segala-galanya. Dengan tidak memperdulikan isyarat dan tanda-tanda
disekelilingnya, suara katak yang menyuruhnya memotong (bahasa daerah
setempat “mengerat”) tangga itu tidak diindahkan. Tempat kejadian ini
dinamai KAMPUNG TANGGA EMAS terletak sekitar 5 Km dari Kota Sambas
sekarang, yaitu pinggiran Sungai Sambas Kecil ke arah barat.
0 comments:
Post a Comment