AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Monday, 14 May 2012

Kampung Tangga Emas

Pada zaman dahulu, di sebuah kampung dipinggiran Sungai Sambas kecil tinggallah seorang lelaki penangkap ikan dengan seorang istri dan beberapa orang anaknya. Mereka tergolong keluarga miskin, yang menggantungkan penghidupannya semata-mata dari menangkap ikan di sungai. Dari tangkapan ikan itu, lalu ditukarkan dengan beras, minyak dan keperluan lainnya, sedangkan sebagian lagi dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya. Menggantungkan kehidupan semata-mata dari sungai, tidak terlalu membuat ia gembira, namun sering pula ia kembali ke rumah tanpa membawa beras tukarannya.
Sebagai seorang penangkap ikan yang sehari-hari senantiasa berada di sungai, hafal betul ia akan tanda-tanda yang terdapat di sungai dan di alam ini, yang sedikit-sedikit menentukan hasil kerjanya, seperti adanya petir, air sungai terasa dingin, arus yang deras dan lain-lain sebagainya. Bila terdengar petir, dapat dipastikan bahwa memancing udang tidak akan membawa hasil karena mendengar petir udang akan bersembunyi dan enggan keluar untuk mencari makan. Bila air sungai terasa dingin sekali, udangpun tidak akan memakan umpan yang diletakkan dimata pancing, begitu juga bila arus sungai begitu deras.
Suatu ketika ia mengatakan kepada istrinya untuk membuat sebuah jala, karena kalau ia mempunyai jala, maka bila air sungai tidak memungkinkan memancing udang, ia akan menjala baik pada siang ataupun malam hari. Istrinya setuju rencananya itu dan kemudian ia berusaha untuk membuat seutas jala.
Beberapa hari kemudian selesailah jala itu dianyamnya. Ia sangat gembira setelah mempunyai jala yang cukup besar. Dengan demikian setiap saat ia akan turun ke sungai menangkap udang. Pada malam hari pun, menjala ikan dapat juga dilakukannya.
Bukan saja udang, ikanpun akan dapat diperolehnya. Tetapi bila dibandingkan anataran udang dan ikan, hasil tukarannya lebih jauh memancing udang dari pada ikan. Sesungguhnya, menjala lebih berat dari pada memancing. Puluhan mata cincin yang terbuat dari timah yang digantungkan diujung jala cukup berat dan melelahkan ketika jala itu diayun dan diterbangkan ke sungai. Bahunya terasa pega. Begitulah pada permulaan menjala itu dilakukannya, tetapi setelah beberapa lama cincin timah yang bergayutan diujung jala itu sudah tidak terasa berat lagi.
Pada suatu hari, sebagaimana biasanya dengan sampan kecil itu, ia menjala di tempat yang agak jauh dari kampungnya. Sebuah galah panjang dari batang bambu tidak lupa dibawanya. Galah panjang itu digunakan untuk menyelam bila mana jala tersangkut pada saat akan ditarik. Galah itu diturunkan ke air, dan setelah ia yakin betul ujung galah itu telah tertancap didasar sungai, lalu ia terjun sambil memeluk galah itu dan melepaskan jala dari benda-benda yang menghalangi.
Setelah agak lama juga ia menebarkan jala namun tak seekor ikanpun yang tersangkut dimata jalanya. Walaupun telah terulang kali ia lakukan, namun hasilnya tetap sama saja. Hanya beberapa helai daun yang sangkut di jalanya. Tubuh mulai terasa lelah. Matahari telah berada di atas kepalanya, sinarnya mulai menyengat tubuhnya. Dibukanya bungkus nasi yang dibawanya dari rumah, lalu dimakannya. Setelah sejenak melepaskan lelah lalu mulai lagi menebarkan jalanya. Dikayuhnya perahu ke tempat yang agak dalam. Untunglah tali jalanya cukup panjang sehingga masih dapat mencapai dasar sungai. Telah beberapa kali jala itu ditebarnya, namun ketika ditarik tidak ada ikan atau udang yang sangkut. Ketika di tempat yang arus airnya begitu kuat, saat jala akan ditariknya, ternyata jala itu tidak dapat ditariknya, ada sesuatu yang menghalanginya, ada sesuatu yang menyangkut di mata jalanya. Di cobanya beberapa kali menarik jala itu ke atas namun tidak juga berhasil. Ia tidak berani menarik jalanya dengan paksa, takut nanti jalanya akan sobek atau putus. Satu-satunya jalan itu adalah membuang barang yang bersangkut di jala dan itu harus menyelam. Diturunkannya galah itu, hampir saja galah bambu itu tidak mencapai dasar sungai, ketika lelaki itu yakin bahwa galah panjang itu telah tertancap di dasar sungai lalu ia terjun. Sambil berpegangan di galah itu ia mulai menyelam memeriksa benda apa yang tersangkut di jalanya. Setelah beberapa saat kemudian, iapun muncul kembali di atas air, lalu naik ke perahu.
Dicobanya menarik jala itu ke atas. Terasa jala mulai dapat ditariknya, tidak seberat seperti semula. Dengan perlahan-lahan terus ditariknya. Ketika puncak jala mulai kelihatan, ia melihat suatu benda aneh di dalam jalanya. Benda itu menyerupai tangga kecil dan mengeluarkan cahaya terang sekali. Lelaki itu terkejut dan terpana melihat benda aneh itu. Ditariknya terus jala itu, dan ketika tangga itu menyentuh pinggir perahunya capat-cepat ditangkapnya. Benarlah bahwa benda itu sebuah tangga berwarna keemasan. Tangga emas, pikirnya dalam hati. Dengan cepat ujung taangga itu dipeganggnya. Untunglah dipegangnya dengan kuat, sebab kalau tidak tangga itu lebih panjang lagi, tetapi tangga itu tidak bergerak, dicobanya terus dan terus namun hanya beranjak sedikit saja. Dalam keadaan yang demikian, lelaki itu membayangkan suatu yang indah, ia dan keluarganya akan menjadi orang kaya. Tangga emas itu akan dijualnya dan ia tentu mendapatkan banyak uang. Makin panjang tangga itu dipunyainya, makin banyak uang yang akan didapatkannya. Ia akan menjadi ora ng yang terkaya di kampung itu. Karena ia berusaha untuk menarik tangga emas itu lebih panjang lagi, bila mungkin seluruh tangga itu akan diambilnya.
Nun, jauh di seberang sungai bertepatan sekali dengan tempat laki-laki itu menjala, ratusan bahkan ribuan ekor katak berlompatan kesana kemari, seolah ikut menyaksikan apa yang sedang dikerjakan oleh lelaki itu. Berbagai jenis katak lain berdatangan dan bergabung dengan kelompok yang telah ada disitu. Katak-katak itu berlompatan sambil mengeluarkan suara, krooot….kraaaat….kraaat…..kraaaat, suara itu makin bertambah kuat jua, kraat…..kraat…..kraat….krooot……!
Tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Lelaki itu berupaya untuk menaikkan tangga itu kedalam peranhunya. Sementara itu suara katak makin riuh dan nyaring juga. Sekitar tempat itu telah dipenuhi suara katak-katak yang ribuan ekor jumlahnya. Tidak, aku tidak akan “mengerat” (memotong) tangga itu, demikian tekat laki-laki itu. Walaupun ia mulai mengerti mengenai suara katak-katak itu. Rasa tamak dan bernafsu ingin memiliki tangga emas begitu kuatnya merasuki jiwa laki-laki itu, karena menurut pekirannya makin panjang tangga itu dikeluarkan dari dalam sungai tersebut, ia dapat makin kaya, sebab itulah ia semakin berusaha untuk menarik tangga tersebut. Lelaki itu seolah-olah sudah kemasukan setan “ingin kaya” dan bergelut dengan tangga itu. Cahaya terang, yang dipancarkan dari dalam sungai menyebar dan menembus rintik-rintik hujan. Diseberang sungai berbagai jenis katak yang ribuan ekor banyaknya terus menerus mengeluarkan suaranya. Kroot….kraaat…..kraaat……………. sambil melompat-lompat.
“Masa bodoh, hei Katak-katak celaka, apa pedulimu menyuruhku mengerat (memotong) tangga ini. Tangga itu sudah menjadi milikku, terserah padaku. Pecah sekalipun perutmu menyuruhku, tangga ini tidak akan ku kerat….!” begitu teriakan laki-laki itu membalas suara katak-katak di seberang sungai itu. Ia pun semakin bernafsu untuk menarik tangga itu sepanjang mungkin. Perahu kecil itu mulai bergerak ke tengah sungai. Makin panjang tangga itu muncul ke permukaan air. Makin terang cahaya yang dikeluarkannya dan makin nyaring pula suara katak-katak itu. Seperti memekakkan telinga yang mendengarnya. Ketika tangga itu terangkan beberapa puluh sentimeter dan makin panjang juga laki-laki itu langsung memeluk tangga tersebut. Perahunya mulai miring ke samping dan tiba-tiba terdengar bunyi seperti barang terjatuh ke sungai dengan mengeluarkan suara cukup kuat, kemudian hilang kembali.
Perhau kecil dan laki-laku itu tidak kelihatan pula, air sungai di tempat itu berputar-putar dengan derasnya dan membuat bentuk seperti kerucut terbalik. Disitu seperti berbentu sebuah sujur yang sangat dalam. Hujan rintik sudah berhenti. Alam bening, tenang. Suara katak yang riuh rendah kini hilang sama sekali. Ribuan ekor katak-katak itu pergi entah kemana. Matahari telah bergerak ke arah barat, dengan cahanyanya mulai kemerah-merahan.
Demikian lah peristiwa yang menimpa laki-laki itu. Keinginannya menjadi orang yang kaya di kampung itu dengan memiliki tangga emas dimaksudkan tidak tercapai dan menjadikan ia lupa segala-galanya. Dengan tidak memperdulikan isyarat dan tanda-tanda disekelilingnya, suara katak yang menyuruhnya memotong (bahasa daerah setempat “mengerat”) tangga itu tidak diindahkan. Tempat kejadian ini dinamai KAMPUNG TANGGA EMAS terletak sekitar 5 Km dari Kota Sambas sekarang, yaitu pinggiran Sungai Sambas Kecil ke arah barat.

0 comments:

Post a Comment