AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Monday, 14 May 2012

Asal Muasal Burung Ruai

Konon pada jaman dahulu telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan di daerah Kabupaten Sambas, tepatnya di pedalaman Benua Bantanam di seblah Timur Kota Sakura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat. Peristiwa ini dialami oleh masyarakat suku Dayak yang menghuni daerah tersebut. Menurut masyarakat setempat bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan kecil yang letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Di dekat gunung tersebut terdapat sebuah gua yang bernama Gua Batu, yang didalamnya terdapat aliran sungai yang banyak ikannya. Selain itu konon di Gua Batu tersebut dihuni oleh seorang kakek yang sakti mandraguna.
Kisah ini di mulai dengan seorang raja yang memerintah pada sebuah kerajaan kecil. Sang raja yang terkenal arif dan bijaksana ini mempunyai tujuh orang putri yang cantik-cantik, sedangkan permaisurinya telah lama wafat. Di antara ketujuh orang putrinya yang bungsu, sehingga biasa disebut “si bungsu”. Selain memiliki paras yang cantik, si bungsu juga mempunyai budi pekerti yang baik, suka menolong dan taat kepada orang tua. Oleh karena itu tidak heran apabila sang ayah sangat menyayangi dirinya. Lain halnya dengan keenam kakaknya mereka mempunyai budi pekerti yang buruk, suka iri hati, membantah orang tua dan malas bekerja. Setiap hari kerja mereka hanya main-main saja.
Latar belakang sifat yang sangat berbeda inilah yang menyebabkan sang ayah menjadi pilih kasih pada putri-putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak si bungsu dimarahi oleh sang ayah, sedangkan si bungsi sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan sang ayah yang demikian, sehingga keenam kakak si bungsu menaruh dendam dan amarah pada adiknya sendiri. Bila sang ayah tidak ada di tempat, maka sang kakak tak segan-segan melampiaskan rasa dendamnya pada adiknya. Mereka memukul habis-habisan tanpa ada rasa belas kasihan, sehingga tubuh si bungsu menjadi kebiru-biruan. Dengan demikian si bungsu menjadi takut kepada kakaknya, dan apa yang diperintahkan oleh keenam kakaknya mau tidak mau harus diturutinya, seperti mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan si bungsu biasa disuruh mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk menemani keenam kakaknya. Semua pekerjaan dikerjakan oleh si bungsu sendirian, sedangkan kakak-kakaknya hanya bersenda gurau saja.
Pada suatu waktu sang ayah melihat tubuh si bungsu kebiru-biruan sepertinya telah dipukuli seseorang. Si bungsu takut mengadu pada sang ayah karena diancam terus menerus oleh sang kakak. Sedangkan keenam kakak si bungsu mengatakan pada ayahnya bahwa tubuh si bungsu dipukuli oleh tetangga karena ketahuan mencuri pepaya. Tentu saja hal itu hanya bohong belaka, karena sebenarnya si bungsu telah di cubit oleh kakaknya. Karena kelihaian berbicara sang kakak, akhirnya sang ayah mempercayainya dan tidak mempermasalahkan lagi dan tinggallah si bungsu hanya bisa meratapi nasibnya.
Begitulah kehidupan si bungsu sehari-hari bersama keenam kakaknya yang sangat jahat padanya. Bila sang ayah berada di rumah, maka mereka bersikap baik dan sayang pada si bungsu tetapi bila sang ayah tidak ada di rumah, maka ke enam kakaknya akan bersikap sebaliknya. Meskipun demikian si bungsu masih bersikap sabar menghadapi perlakuan kakak-kakaknya, namun terkadang ia menangis tersedu-sedu menyesali dirinya mengapa sang ibu begitu cepat meninggalkan dirinya. Karena dahulu hanya pada sang ibulah tempat dia mengadu dan memperoleh perlindungan. Kini setelah ibunya wafat, ia hanya bisa mengharapkan perlindungan sang ayah, namun karena kesibukan ayahnya sebagai seorang raja yang sibuk dengan urusan kerajaan, maka hal itu tidak bisa diharapkannya.
Pada suatu hari, sang raja memerintahkan seluruh penghuni istana untuk mendengarkan sebuah pengumuman. Sang raja kemudian mengumumkan bahwa ia akan segera meninggalkan kerajaan selama satu bulan untuk berangkat ke kerajaan lain untuk mempererat hubungan kekerabatan. Tidak ketinggalan ketujuh putri raja mendengarkan berita tentang rencana keberangkatan ayahnya ke kerajaan lain. Pada pertemuan itu pula, diumumkan bahwa selama sang raja tidak ada di tempat, maka untuk sementara kekuasaan dilimpahkan pada si bungsu. Dengan demikian segala urusan yang menyangkut kerajaan harus dengan persetujuan si bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakak si bungsu menjadi terkejut, mereka sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya akan melimpahkan kekuasaan pada adiknya, bukan pada dirinya. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati bagi kakak si bungsu. Dan timbullah niat yang jahat di hati mereka masing-masing untuk melampiaskan rasa dengkinya pada si bungsu, bila ayahnya telah berangkat nanti.
Para prajurit sangat sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan sang raja di perjalanan. Setelah segala sesuatunya telah siap, maka berangkatlah sang raja dengan pasukan berkuda yang disertai bendera kerajaan, dengan disaksikan oleh ketujuh orang putrinya dan seluruh rakyat di kerajaan tersebut.
Tak terasa waktu kian berlalu, dan telah satu minggu sang raja meninggalkan kerajaannya. Sementara itu keenam kakak si bungsu menyusun suatu rencana yang akan mencelakai si bungsu. Tak tanggung-tanggung, sang kakak akan berusaha melenyapkan si bungsu dengan cara apapun termasuk membunuhnya dengan caranya sendiri.
Setelah rencananya sudah tersusun rapi, maka pada suatu siang keenam kakak si bungsu memanggil si bungsu. Ternyata keenam kakaknya memanggil dirinya untuk mencari ikan (menangguk) dalam bahasa melayu dengan alat yang dinamakan Tangguk. Tangguk ini terbuat dari rotan yang bentuknya seperti bujur telur. Tentu saja ajakan kakaknya ini disambut gembira oleh si bungsu, karena mengira bahwa kakaknya mau berteman dengannya. Si bungsu tidak mengetahui maksud yang tersembunyi dibalik ajakan itu, dan ia hanya mempercayai tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
Tanpa berpikir panjang, maka berangkatlah ketujuh orang putri raja ini dnegan masing-masing membawa tangguk. Dan terasa sampailah mereka di lokasi menangguk ikan pada sebuah gua batu yang didalamnya terdapat sungai yang berisi banyak ikan. Si bungsu sangat gembira dapat menangguk ikan di tempat itu, dan si bungsu diajak oleh kakaknya lebih dalam lagi agar memperoleh ikan yang banyak. Karena gembira si bungsu tidak memperhatikan sekelilingknya, dan diam-diam keenam kakanya telah meningggalkan si bungsu seorang diri di dalam gua tersebut. Sementara itu kakaknya telah bergegas menuju mulut gua dan mereka berharap agar si bungsu tidak menemukan jejak mereka. Setelah sampai di luar gua, mereka semua tertawa terbahak-bahak sebab rencananya berhasil menipu si bungsu yang amat dibencinya dan akhirnya mereka pergi meninggalkan gua itu.
Sementara itu di dalam gua, si bungsu mencari keenam kakaknya. Ia mencari-cari di mana gerangan kakaknya berada. Keadaan gua yang mulai gelap gulita membuat ia kebingungan mencari arah mulut gua dan sampai akhirnya si bungsu tersesat dan hanya bisa menangis memanggil kakaknya.
Si bungsu kini menyadari bahwa ternyata keenam kakaknya telah mencelakainya dan sengaja meninggalkan dirinya sendiri di gua batu tersebut. Dan kini si bungsu hanya bisa duduk bersimpuh di atas sebuah batu pada aliran sungai tersebut dan meratapi nasibnya yang telah dipermainkan oleh kakak-kakaknya. Si bungsu hanya bisa menangis siang dan malam, sebab tak satu orang pun yang mendengar tangisannya dan dapat menyelamatkan dirinya keluar dari dalam gua tersebut. Ia hanya ditemani gelapnya gua serta ikan yang berenang ke sana ke mari menyaksikan penderitaannya.
Tanpa terasa tujuh hari tujuh malam sudah si bungsu terkurung dalam gua batu itu, namun ia belum menemukan jalan keluar. Namun si bungsu terus menerus berdo’a dan bertahan hidup dan berharap suatu saat nanti pertolongan akan datang. Tanpa disangka-sangka oleh si bungsu, tepat pada hari ketujuh terjadilah suatu peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu. Terdengar suara gemuruh yang menggelegar seakan-akan ingin merobohkan gua batu tersebut. Menyaksikan hal itu si bungsu menangis menjerit-jerit ketakutan. Pada saat-saat yang mendebarkan itu, dengan disertai suara yang menggelegar dan asap yang mengepul, maka muncullah seorang kakek tua renta yang sakti, tepat dihadapan si bungsu. Kehadiran si kakek sakti itu benar-benar mengejutkan si bungsu. Tak lama kemudian, kakek itu berkata, “sedang apa kamu disini cucuku?”. Si bungsu yang masih ketakutan menjawab, “Hamba disini sedang menangguk ikan, dan tak bisa pulang karena hamba ditinggalkan oleh kakak-kakak hamba, kek”. Tak lama kemudian si bungsu menangis senjadi-jadinya sehingga airmatanya tak tertahankan lagi, ia menangis dan menangis dan air matanya tak terbendung lagi. Menyaksikan hal itu, sang kakek menjadi sangat terharu. Karena kesaktian sang kakek sehingga titik-titik air mata si bungsu yang terus menerus keluar secara perlahan-lahan diubahnya menjadi telur-telur putih yang banyak sekali jumlahnya. Setelah tetes air mata si bungsu diubahnya menjadi telur-telur, maka sang kekek saktipun mengubah si bungsu menjadi seekor burung yang sangat indah bulunya. Walaupun si bungsu telah berubah menjadi burung, namun ia masih dapat berbicara seperti manusia, kemudian sang kakek berkata pada si bungsu yang telah berubah menjadi burung. “Cucuku, aku akan menolong dirimu dari kesengsaraan yang menimpamu, tapi dengan cara engkau ku ubah menjadi seekor burung, yang kuberi nama Burung Ruai, dan apabila aku telah hilang dari pandanganmu, maka eramilah telur-telur itu supaya jadi burung dan ia menjadi temanmu!” Kemudian si Bungsu yang telah menjadi burung secara spontan menjawab pembicaraan si kakek dengan jawaban “Kwek….Kwek….Kwek,,,,,”. Bersamaan dengan itu sang kakek sakti itu menghilang bersama asap yang mengepul memenuhi gua batu itu. Tak lama setelah sang kakek sakti itu menghilang, maka secara spontan burung ruai langsung mengerami telur-telur tadi sehingga berubah menjadi burung-burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan memenuhi gua batu itu. Dan burung ruai itu berterbangan keluar gua melalui celah gua batu itu. Burung-burung ruai itu terbang yang arahnya menuju rumah si bungsu. Burung-burung ruai itu hinggap pada sebuah pohon tepat di depan rumah si bungsu dengan suara, “Kwek…Kwek….Kwek…..Kwek”. Si bungsu yang berubah menjadi Ruai itu menyaksikan kakak-kakaknya dihukum ayahnya karena ketahuan dengan sengaja menyingkirkan adiknya. Sang ayah menghukum kakak si bungsu sebagai akibat perbuatannya yang mencelakai adik kandungnya sendiri.
Setelah kejadian yang menimpa si bungsu dan mengubahnya menjadi seekor burung Ruai di gua batu itu, maka gunung di mana terdapat batu itu di sebut Gunung Ruai sampai sekarang ini. Bila cuaca cerah maka Gunung Ruai ini akan terlihat dengan bentuknya yang memanjang.

0 comments:

Post a Comment