AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Gedung Perpustakaan Kalimantan Barat

Gedung yang terdiri dari 3 lantai ini didirikan tahun 1985.

Ruang Sirkulasi

Tampak Ruang Sirkulasi untuk peminjaman dan pengembalian buku.

Ruang Pelayanan Internet

Terdapat 25 Unit Komputer untuk digunakan pengunjung dalam mengakses internet secara gratis

Ruang Baca

Ruang Koleksi Buku

Tuesday, 15 May 2012

Dahsyatnya Sidik Jari

Pengarang: Ifa H. Misbach (Psikolog)
Penerbit: Jakarta, Visimedia
Tahun Terbit: 2010
Jumlah Halaman: 142
Jumlah Exemplar: 2
Jumlah Exemplar: 5
Temukan kecerdasan anda yang sesungguhnya "Hanya" dari sidik jari!
Tahukah Anda bahwa sejak lahir, setiap manusia memiliki potensi, kecerdasan, & bakat alamiah? Hal itu bisa diungkap "HANYA" dari gurat-gurat diujung jari. Fingerprint Analisys (analisis sidik jari) hadir sebagai solusi untuk mengenali bakat, potensi, & kecerdasan tersebut.
Buku ini membantu para orangtua untuk memaksimalkan potensi anak, sekaligus membantu setiap orang mengenali diri & menemukan bidang kerja yang cocok.


Monday, 14 May 2012

Kampung Tangga Emas

Pada zaman dahulu, di sebuah kampung dipinggiran Sungai Sambas kecil tinggallah seorang lelaki penangkap ikan dengan seorang istri dan beberapa orang anaknya. Mereka tergolong keluarga miskin, yang menggantungkan penghidupannya semata-mata dari menangkap ikan di sungai. Dari tangkapan ikan itu, lalu ditukarkan dengan beras, minyak dan keperluan lainnya, sedangkan sebagian lagi dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya. Menggantungkan kehidupan semata-mata dari sungai, tidak terlalu membuat ia gembira, namun sering pula ia kembali ke rumah tanpa membawa beras tukarannya.
Sebagai seorang penangkap ikan yang sehari-hari senantiasa berada di sungai, hafal betul ia akan tanda-tanda yang terdapat di sungai dan di alam ini, yang sedikit-sedikit menentukan hasil kerjanya, seperti adanya petir, air sungai terasa dingin, arus yang deras dan lain-lain sebagainya. Bila terdengar petir, dapat dipastikan bahwa memancing udang tidak akan membawa hasil karena mendengar petir udang akan bersembunyi dan enggan keluar untuk mencari makan. Bila air sungai terasa dingin sekali, udangpun tidak akan memakan umpan yang diletakkan dimata pancing, begitu juga bila arus sungai begitu deras.
Suatu ketika ia mengatakan kepada istrinya untuk membuat sebuah jala, karena kalau ia mempunyai jala, maka bila air sungai tidak memungkinkan memancing udang, ia akan menjala baik pada siang ataupun malam hari. Istrinya setuju rencananya itu dan kemudian ia berusaha untuk membuat seutas jala.
Beberapa hari kemudian selesailah jala itu dianyamnya. Ia sangat gembira setelah mempunyai jala yang cukup besar. Dengan demikian setiap saat ia akan turun ke sungai menangkap udang. Pada malam hari pun, menjala ikan dapat juga dilakukannya.
Bukan saja udang, ikanpun akan dapat diperolehnya. Tetapi bila dibandingkan anataran udang dan ikan, hasil tukarannya lebih jauh memancing udang dari pada ikan. Sesungguhnya, menjala lebih berat dari pada memancing. Puluhan mata cincin yang terbuat dari timah yang digantungkan diujung jala cukup berat dan melelahkan ketika jala itu diayun dan diterbangkan ke sungai. Bahunya terasa pega. Begitulah pada permulaan menjala itu dilakukannya, tetapi setelah beberapa lama cincin timah yang bergayutan diujung jala itu sudah tidak terasa berat lagi.
Pada suatu hari, sebagaimana biasanya dengan sampan kecil itu, ia menjala di tempat yang agak jauh dari kampungnya. Sebuah galah panjang dari batang bambu tidak lupa dibawanya. Galah panjang itu digunakan untuk menyelam bila mana jala tersangkut pada saat akan ditarik. Galah itu diturunkan ke air, dan setelah ia yakin betul ujung galah itu telah tertancap didasar sungai, lalu ia terjun sambil memeluk galah itu dan melepaskan jala dari benda-benda yang menghalangi.
Setelah agak lama juga ia menebarkan jala namun tak seekor ikanpun yang tersangkut dimata jalanya. Walaupun telah terulang kali ia lakukan, namun hasilnya tetap sama saja. Hanya beberapa helai daun yang sangkut di jalanya. Tubuh mulai terasa lelah. Matahari telah berada di atas kepalanya, sinarnya mulai menyengat tubuhnya. Dibukanya bungkus nasi yang dibawanya dari rumah, lalu dimakannya. Setelah sejenak melepaskan lelah lalu mulai lagi menebarkan jalanya. Dikayuhnya perahu ke tempat yang agak dalam. Untunglah tali jalanya cukup panjang sehingga masih dapat mencapai dasar sungai. Telah beberapa kali jala itu ditebarnya, namun ketika ditarik tidak ada ikan atau udang yang sangkut. Ketika di tempat yang arus airnya begitu kuat, saat jala akan ditariknya, ternyata jala itu tidak dapat ditariknya, ada sesuatu yang menghalanginya, ada sesuatu yang menyangkut di mata jalanya. Di cobanya beberapa kali menarik jala itu ke atas namun tidak juga berhasil. Ia tidak berani menarik jalanya dengan paksa, takut nanti jalanya akan sobek atau putus. Satu-satunya jalan itu adalah membuang barang yang bersangkut di jala dan itu harus menyelam. Diturunkannya galah itu, hampir saja galah bambu itu tidak mencapai dasar sungai, ketika lelaki itu yakin bahwa galah panjang itu telah tertancap di dasar sungai lalu ia terjun. Sambil berpegangan di galah itu ia mulai menyelam memeriksa benda apa yang tersangkut di jalanya. Setelah beberapa saat kemudian, iapun muncul kembali di atas air, lalu naik ke perahu.
Dicobanya menarik jala itu ke atas. Terasa jala mulai dapat ditariknya, tidak seberat seperti semula. Dengan perlahan-lahan terus ditariknya. Ketika puncak jala mulai kelihatan, ia melihat suatu benda aneh di dalam jalanya. Benda itu menyerupai tangga kecil dan mengeluarkan cahaya terang sekali. Lelaki itu terkejut dan terpana melihat benda aneh itu. Ditariknya terus jala itu, dan ketika tangga itu menyentuh pinggir perahunya capat-cepat ditangkapnya. Benarlah bahwa benda itu sebuah tangga berwarna keemasan. Tangga emas, pikirnya dalam hati. Dengan cepat ujung taangga itu dipeganggnya. Untunglah dipegangnya dengan kuat, sebab kalau tidak tangga itu lebih panjang lagi, tetapi tangga itu tidak bergerak, dicobanya terus dan terus namun hanya beranjak sedikit saja. Dalam keadaan yang demikian, lelaki itu membayangkan suatu yang indah, ia dan keluarganya akan menjadi orang kaya. Tangga emas itu akan dijualnya dan ia tentu mendapatkan banyak uang. Makin panjang tangga itu dipunyainya, makin banyak uang yang akan didapatkannya. Ia akan menjadi ora ng yang terkaya di kampung itu. Karena ia berusaha untuk menarik tangga emas itu lebih panjang lagi, bila mungkin seluruh tangga itu akan diambilnya.
Nun, jauh di seberang sungai bertepatan sekali dengan tempat laki-laki itu menjala, ratusan bahkan ribuan ekor katak berlompatan kesana kemari, seolah ikut menyaksikan apa yang sedang dikerjakan oleh lelaki itu. Berbagai jenis katak lain berdatangan dan bergabung dengan kelompok yang telah ada disitu. Katak-katak itu berlompatan sambil mengeluarkan suara, krooot….kraaaat….kraaat…..kraaaat, suara itu makin bertambah kuat jua, kraat…..kraat…..kraat….krooot……!
Tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Lelaki itu berupaya untuk menaikkan tangga itu kedalam peranhunya. Sementara itu suara katak makin riuh dan nyaring juga. Sekitar tempat itu telah dipenuhi suara katak-katak yang ribuan ekor jumlahnya. Tidak, aku tidak akan “mengerat” (memotong) tangga itu, demikian tekat laki-laki itu. Walaupun ia mulai mengerti mengenai suara katak-katak itu. Rasa tamak dan bernafsu ingin memiliki tangga emas begitu kuatnya merasuki jiwa laki-laki itu, karena menurut pekirannya makin panjang tangga itu dikeluarkan dari dalam sungai tersebut, ia dapat makin kaya, sebab itulah ia semakin berusaha untuk menarik tangga tersebut. Lelaki itu seolah-olah sudah kemasukan setan “ingin kaya” dan bergelut dengan tangga itu. Cahaya terang, yang dipancarkan dari dalam sungai menyebar dan menembus rintik-rintik hujan. Diseberang sungai berbagai jenis katak yang ribuan ekor banyaknya terus menerus mengeluarkan suaranya. Kroot….kraaat…..kraaat……………. sambil melompat-lompat.
“Masa bodoh, hei Katak-katak celaka, apa pedulimu menyuruhku mengerat (memotong) tangga ini. Tangga itu sudah menjadi milikku, terserah padaku. Pecah sekalipun perutmu menyuruhku, tangga ini tidak akan ku kerat….!” begitu teriakan laki-laki itu membalas suara katak-katak di seberang sungai itu. Ia pun semakin bernafsu untuk menarik tangga itu sepanjang mungkin. Perahu kecil itu mulai bergerak ke tengah sungai. Makin panjang tangga itu muncul ke permukaan air. Makin terang cahaya yang dikeluarkannya dan makin nyaring pula suara katak-katak itu. Seperti memekakkan telinga yang mendengarnya. Ketika tangga itu terangkan beberapa puluh sentimeter dan makin panjang juga laki-laki itu langsung memeluk tangga tersebut. Perahunya mulai miring ke samping dan tiba-tiba terdengar bunyi seperti barang terjatuh ke sungai dengan mengeluarkan suara cukup kuat, kemudian hilang kembali.
Perhau kecil dan laki-laku itu tidak kelihatan pula, air sungai di tempat itu berputar-putar dengan derasnya dan membuat bentuk seperti kerucut terbalik. Disitu seperti berbentu sebuah sujur yang sangat dalam. Hujan rintik sudah berhenti. Alam bening, tenang. Suara katak yang riuh rendah kini hilang sama sekali. Ribuan ekor katak-katak itu pergi entah kemana. Matahari telah bergerak ke arah barat, dengan cahanyanya mulai kemerah-merahan.
Demikian lah peristiwa yang menimpa laki-laki itu. Keinginannya menjadi orang yang kaya di kampung itu dengan memiliki tangga emas dimaksudkan tidak tercapai dan menjadikan ia lupa segala-galanya. Dengan tidak memperdulikan isyarat dan tanda-tanda disekelilingnya, suara katak yang menyuruhnya memotong (bahasa daerah setempat “mengerat”) tangga itu tidak diindahkan. Tempat kejadian ini dinamai KAMPUNG TANGGA EMAS terletak sekitar 5 Km dari Kota Sambas sekarang, yaitu pinggiran Sungai Sambas Kecil ke arah barat.

Batu Ballah Batu Betangkup

Batu Ballah
Batu Betangkup,
Tangkupkan aku,
Anggan kakiku

Aku kemponan
Tallor Timbakol

O…Mak, O…..Mak
Ballik Udde’
Hari dah malam
Ade’ na’ nyussu

Begitulah syair dan lagu berirama pilu yang hingga kini selalu didendangkan Ketika Sang Ibu mengiringi si Dodol yang sampai waktunya akan tidur.
Didalam Syair itu dengan mudah disimak bahwa Batu Ballah itu adalah jelmaan Dewa yang mengerti akan rintihan hati seorang Ibu yang pasrah berpisah dengan kedua anak kesayangannya karena terlalu besar “rasa kepinginnya” untuk menikmati lezatnya telor timbakul di hari itu.
Lalu terjadilah dialog melalui syair yang dilantunkan gadis kecilnya, satu-satunya kakak si Bungsu yang tak henti-hentinya menangis. Oh, Mak, Oh Mak, ampunkanlah dan maafkanlah kami yang manja. Kembalilah kepada kami, Mak. Jangan dekati Batu Ballah itu. Kasihanilah adik kelaparan susu menangis sedari tadi. Oh Mak, Oh Mak, kemarilah, jauhilah Batu Ballah itu. Kami takut mendekat ke sana.
Begitulah mengawali cerita rakyat Pantai Tanjung Batu yang terkenal itu. Disana pernah hidup tiga anak manusia, yaitu seorang ibu yang sudah menjanda, bernama Mak Risah dengan kedua anaknya yang sulung perempuan bernama Long Ijun dan yang bungsu laki-laki bernama Su Pisok.
Mereka hidup berkasih-kasihan dan senantiasa bertawakkal menerima kadar yang serba kekurangan sejak ditinggal pergi sang ayah yang sudah lama tiada. Ditempat yang jauh dari keramaian itulah keluarga kecil ini menjalani sisa-sisa hidup dalam penderitaan. Tertutup kepala terbuka kaki, tertutup kaki terbuka kepala. Kesulitan yang tidak bertepi membuat Mak Risah kadang-kadang putus asa. Terlebih lagi si Bungsu selalu saja menangis, sementara Long Ijun yang sangat menyayanginya hampir kehabisan waktu membantu ibunya selain menjaga dan merawat si manja yang hanya seorang itu.
Pada suatu hari Mak Risah berkata kepada putri sulungnya itu. “Nak! Jaga adikmu baik-baik, mak hendak pergi mencari telur Timbakul.” Setelah itu iapun pergi ke bibir pantas yang airnya sedang kering. Kebetulan banya sekali ikan Timbakul dihari itu. Hanya sayangnya belum kelihatan Timbakul yang bertelur. Namun terhibur sejenak hati Mak Risah melihat Timbakul yang berkejar-kejaran karena ikan tiu dapat hidup di dua alam. Dipantai yang sekali-kali dilebur ombak tampak jelas ia berjalan dengan sirip dan ekornya dengan dua matanya yang besar dan menonjol.
Setelah mendapat telor yang cukup banyak untuk mereka bertiga lalu pulanglah Mak Risah ke pondok yang reot, didapatinya kedua anaknya sedang asik bermain. Rupanya mereka kehabisan kayu bakar yang biasanya di cari ijun dan pisok sambil bermain, demikianpun garam dan kunyit untuk merempahi telor yang diperolehnya itu. Ketika itu iapun berpesan kepada putrinya, “Mak ke hutan dulu mencari kayu. Telor sudah Mak rebus, kalau sudah masak supaya diangkat, nanti baru diberi rempah dan kita makan bersama,” katanya. Long Ijun mengangguk sambil menepuk-nepuk paha adiknya dalam gendongan. Setelah itu Mak Risah pun pergi. Sebetulnya ia sangat lapar dan letih, tetapi siapa lagi yang mengerjakan itu semua?
Sepeninggal maknya, Su Pisok pun minta makan karena sejak pagi belum merasakan apapun juga belum sempat menyusu pada Mak nya. Long Ijun ingat pesan Mak nya sebab telur belum diberi rempah. Akan tetapi karena adiknya tak henti-hentinya menangis, ibalah hatinya. Lagi pula apalah dayanya. Ia hanya seorang gadis kecil yang tidak dapat berbuat banyak. Tambahan lagi perutnya sendiri terasa menggigit-gigit kelaparan. Hari sudah tinggi, mak yang ditunggu-tunggu belum lagi pulang. Karena tidak tahan melihat adiknya yang tak henti-hentinya menangis, lalu diambilnya panci yang terjerang diatas tungku itu. Melihat telur berwarna kuning menusuk hidung, mula-mula diambilnya sedikit, lama kelamaan sang kakak pun turut merasakan. Keadaan dalam kelaparan itu membuat Long Ijun lupa pesan maknya dan khilaf tidak meninggalkan untuk maknya walau sedikitpun. Selesai makan keduanya mengantuk lalu tertidur.
Sepulangnya Mak Risah dari mencari kayu dah rempah, betapa ia sangat terkejut melihat telur Timbakul yang tidak lagi tersisa. “Sampai hati kau Jun, Mak tidak disisakan sedikitpun,” katanya mengeluh sambil duduk berpangku tangan di bendul pintu. “Su Pisok menangis terus Mak. Sejak pagi kelaparan susu. Ijun pun juga lapar Mak, sampai lupa meninggalkan barang sedikit untuk Mak”. “
“Tapi Mak pun juga lapar sekali, sedari pagi belum merasakan apa-apa. Mak mengira sepulang mencari kayu, kita makan bersama-sama.”
Long Ijun sedih sekali mendengar uraian Mak itu. Sekarang apa yang harus dimasak Mak lagi, telur Timbakul sudah habis. Hendak mencari lagi, air laut sudah pasang dan ikan Timbakul sudah pergi ke tempat yang jauh mencari pantai berlumpur lain. “Maafkan kami Mak, kami telah berdosa….”
Mak Risah menangis pilu, sedih sekali “Sudah lah Jun, Mak sudah kemponan….” katanya teramat sedih karena keinginan dan harapannya telah putus sehingga kemponan. Ia bangkit perlahan, kemudian berjalan lamban menuju Tanjung Batu. Jalannya kemudian semakin cepat, Akhirnya ia meraung, menangis sambil berlari. Sesampainya di mulut Batu Ballah, ia pun memohon :
Batu Ballah
Batu Betangkup,
Tangkupkan aku
Anggan kakiku,
Aku Kemponan
Tallor Timbakul
Toop…. bunyi suara Batu Ballah menangkup kedua kaki Mak Risah. Mendengar suara itu Long Ijun pun menangis sambil berlari menggendong Pisok yang juga menangis.
“Oh Mak, Ballik Uddek.
Hari dah malam, Adek nak nyussu”
“Tidak, aku tak mau pulang. Kamu berdua jahat, tak sayang dengan Mak,” jawab Mak Risah sementara kedua kakinya sudah tertangkup Batu Ballah, lalu ia memohon lagi.
“Batu Ballah, Batu Betangkup.
Tangkupkan aku, Anggan parrutku
Aku Kemponan, Tallor Timbakul”
Demikianlah seterusnya sehingga ditangkup bagian perutnya, lalu lehernya. Melihat itu Long Ijun memberanikan diri menyelamatkan Maknya, tapi terlambat. Yang didapatkannya hanya rambut maknya yang panjang terurai.
“Oh Mak, Oh Mak. Tunggu lah Kami. Tega nian mak tinggalkan kami, adik kecil kelaparan susu”
“Oh Mak, Oh Mak. Hari sudah malam, pulanglah Mak.”
Tapi Mak Risah Sudah tak mau mendengar lagi.

Semangka Emas

Dahulu, di daerah Sambas terdapat kisah seorang saudagar yang kaya raya. Kekayaannya meliputi tanah berupa ladang, rumah mewah, dan harta benda yang mahal harganya. Semua penduduk kampung hormat kepadanya.
Saudagar kaya itu memiliki dua orang anak laki-laki. Si sulung bernama Muzakir, sedangkan si bungsu bernama Dermawan. Meskipun mereka lahir dari rahim ibu yang sama, namun sifat keduanya sangat jauh berbeda. Si sulung memiliki sifat serakah dan kikir, sedangkan si bungsu memiliki sifat baik hati dan suka menolong.
Suatu hari, saudagar kaya itu jatuh sakit. Ia merasa usianya sudah tidak panjang lagi. Karenanya, ia memanggil kedua anaknya. Tidak berapa lama, datanglah keduanya ke kamar ayahnya. “Anakku, sepertinya penyakitku ini sudah terlampau parah. Kurasa, usiaku tidak akan panjang lagi. Badanku pun sudah terlampau tua untuk bertahan. Oleh karena itu, aku berpesan kepada kalian untuk selalu rukun dalam menjalani hidup” ucap saudagar itu terbata-bata.
“Ayah, jangan berkata seperti itu. Ayah pasti akan sembuh,” ucap Dermawan.
“Sebelum meninggal, aku ingin mengatakan hal yang sangat penting kepada kalian. Aku sudah menulis surat wasiat mengenai pembagian harta warisan. Aku membagi hartaku dengan adil untuk kalian berdua. Jadi, kalian tidak perlu iri satu dengan yang lainnya,” pesan saudagar itu.
Beberapa hari kemudian, saudagar itu meninggal dunia. Kedua anak itu sangat sedih karena mereka tidak punya siapa-siapa lagi.
Sepeninggal sang ayah, harta warisan dibagikan sama rata. Muzakir segera membeli sebuah peti besi yang berukuran besar. Tidak lupa, ia mengunci rapat-rapat peti besi itu hingga berlapis-lapis. Uang warisan yang didapatnya dimasukkan kedalam peti tersebut. Setiap orang miskin yang datang untuk meminta sedekah darinya hanya ditertawai yang meledek. Tidak satu sen pun uang keluar dari kantongnya. Jika orang-orang miskin itu tetap tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang bawahannya untuk mengusir mereka. Tidak ada rasa iba ataupun belas kasihan dari Muzakir melihat orang-orang yang kekurangan.
Orang-orang yang miskin itu kemudian berduyun-duyun pergi ke rumah Dermawan. Di sana, mereka dijamu dengan baik. Dermawan tidak segan-segan mengeluarkan semua uangnya untuk orang yang kesusahan. Ia selalu merasa iba dengan orang yang miskin dan cacat.
Semakin lama uang Dermawan habis untuk bersedekah. Ia tidak mampu lagi untuk mengurus dan membiayai rumahnya yang cukup besar. Akhirnya, ia menjual rumahnya dan membeli rumah yang lebih kecil dibandingkan dengan rumah sebelumnya. Ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Gajinya yang tidak seberapa hanya cukup untuk makan keluarganya. Meskipun hidup cukup sederhana, hatinya tetap senang. Ia selalu bersyukur dan tidak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya dahulu sewaktu banyak memberi sedekah kepada orang miskin.
Kabar tentang kehidupan Dermawan yang tidak lagi mewah terdengar oleh Muzakir. Ia hanya tertawa melihat keadaan adiknya yang sudah tidak seperti dulu. “Dasar Dermawan bodoh. Coba kalau ia tidak menyedekahkan hartanya untuk orang-orang miskin, pasti ia tidak akan melarat seperti sekarang! Ha….ha…..ha……,” ucap Muzakir.
Kekayaan Muzakir semakin lama semakin bertambah. Ia pun sudah mulai membeli rumah yang lebih bagus dan sebuah kebun kelapa yang sangat luas. Meskipun keadaan Muzakir semakin sukses dan kaya, Dermawan tidak pernah merasa iri ataupun sakit hati. Terlebih dengan sikap kakaknya yang suka menghinanya.
Suatu hari, ketika Dermawan sedang duduk santai di halaman rumahnya, tiba-tiba jatuh seekor burung pipit tepat dihadapannya. Burung itu mencicit kesakitan. Ternyata, sayap burung pipit itu patah.
“Aduh, malang benar nasibmu. Pasti kau kesakitan dan tidak bisa terbang,” ucap Dermawan.
Dengan perlahan Dermawan mengangkat burung pipit yang malang. Ia membaringkan si pipit di selembaran daun. Lalu, ia membalut sayap burung pipit dengan selembar kain kecil. Setelah itu, diberinya segenggam beras untuk makan si pipit.
Semakin lama, burung itu menjadi jinak kepadanya. Dermawan merawat burung itu dengan penuh kasih sayang. Beberapa hari kemudian, burung pipit itu sudah mulai dapat mengibas-ngibaskan sayapnya. Akhirnya, ia sudah dapat terbang tinggi. Keesokan harinya, burung pipit itu datang mengunjungi Dermawan dengan membawa sebutir biji di paruhnya.
“Hai burung kecil, ternyata kau masih ingat aku ya. Tapi, biji apa yang kau bawa untuk ku?” tanya Dermawan.
Burung itu hanya meletakkan biji yang dibawanya di hadapan Dermawan. Melihat tingkah laku si Burung pipit yang lucu, ia tertawa geli. Dermawan memperhatikan kembali biji pemberian si burung pipit. Biji itu tampak biasa-biasa saja. Kemudian ia tanam biji itu di kebun belakang rumahnya.
Tiga hari sudah semenjak kedatangan si burung pipit Dermawan kembali melihat biji yang sengaja ia tanam di kebun belakang. Ternyata, biji itu telah tumbuh menjadi sebuah pohon semangka. Pohon itu dirawat dengan baik oleh Dermawan. Ia tidak lupa untuk menyiraminya setiap sore hingga pohon semangka itu tumbuh dengan subur.
Semula, Dermawan mengira akan banyak buah yang dihasilkan dari pohon itu. Jika pohon itu berbuah banyak, sebagian buah yang dihasilkan akan ia sedekahkan. Namun kenyataannya, buah yang muncul hanya satu meskipun berbunga sangat banyak. Tapi, yang lebih mengherankan adalah ukuran buang semangka pada umumnya. Semangka itu tampak ranum dan berbau harum.
“Wah, semangka ini besar sekali. Baunya juga sangat harum. Pasti semangka ini sangat lezat dan nikmat jika dimakan,” katanya.
Lalu, ia memetik buah semangka itu. “ Wah, berat sekali semangka ini,” ujarnya. Dengan terengah-engah Dermawan membawa semangka itu ke dalam rumahnya. Setelah diletakkan di atas meja, Dermawan membelahnya. “Ya Tuhan, apa ini?” teriak Dermawan.
Betapa terkejutnya Dermawan ketika semangka yang dibelahnya berisi pasir berwarna kuning. Dermawan memperhatikan dengan saksama pasir itu. Ternyata, pasir kuning itu adalah emas murni yang terurai. Mata Dermawan terbelalak tidak percaya. Ia sempat tertegun dan kemudian menari-nari kegirangan. Tidak berapa lama, Dermawan mendengar suara burung berkicau. Dicarilah sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari burung pipit yang pernah ditolongnya.
“Terima kasih burung pipit,” ucap Dermawan.
Keesokan harinya, Dermawan membeli sebuah rumah mewah dengan perkarangan yang sangat luas. Ia pun tidak segan-segan memberi makan kepada orang-orang miskin yang datang meminta sedekah ke rumahnya. Meskipun sering menyedekahkan harta, Dermawan tidak pernah jatuh miskin seperti dulu. Sebab, hartanya sangat banyak dan hasil kebunnya berlimpah hingga tidak akan habis.
Melihat keberhasilan adiknya Muzakir menjadi iri hati. “Bagaimana mungkin Dermawan yang sudah jatuh miskin dalam sekejap menjadi orang yang sangat kaya. Aku harus mencari tahu tentang hal ini,” pikir Muzakir.
Karena penasaran, keesokan harinya Muzakir bertandang ke rumah adiknya. Ia bertanya banyak hal tentang bagaimana adiknya menjadi kaya mendadak. Dengan jujur, Dermawan menceritakan kejadian yang dialaminya. Setelah mendengar kisah adiknya, Muzakir segera menyuruh bawahannya untuk mencari burung pipit yang patah kaki atau patah sayapnya.
“Kalian harus mencari burung pipit yang terluka. Carilah kemana saja sampai kalian menemukannya. Lalu, bawa ke hadapanku!” perintah Muzakir. “Baik Tuan,” jawab bawahannya.
Sudah seminggu berjalan, tapi orang-orang suruhan Muzakir belum mendapatkan burung pipit yang diminta. Muzakir sangat marah dan tidak dapat tidur tenang. Ia terus memikirkan cara agar burung pipit yang dimintanya bisa didapatkan. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya ia mendapatkan cara. Disuruhlah seseorang bawahan menangkap seekor burung pipit menggunakan pengapit. Tentu saja hal ini membuat sayap si burung pipit patah. Lalu, Muzakir berpura-pura kasihan kepada burung itu dan mengobati lukanya hingga sembuh.
Beberapa hari kemudian, burung pipit itu dapat terbang kembali. Keesokan harinya, sang burung pipit kembali ketempat Muzakir dengan membawa sebutir biji. Dengan gembira, Muzakir segera menanam biji itu di kebunnya. Ia merawat biji itu dengan sangat baik hingga tumbuh menjadi sebuah pohon semangka yang juga memiliki buah yang ukurannya sangat besar. Bahkan, jika dibandingkan dengan semangka yang ditanam di kebun Dermawan, semangka Muzakir jauh lebih besar ukurannya. Sampai-sampai ketika Muzakir memetik dan membawa buah itu ke dalam rumahnya, ia harus meminta bantuan bawahannya.
“Wah, pasti emas di dalam semangka ini lebih banyak dari emas milik Dermawan. Ha…ha…ha…,” ucap Muzakir sembil tertawa senang.
Dengan semangat, Muzakir mengambil sebilah parang. Dibelahnya semangka itu dengan hati-hati. Namun, betapa terkejutnya Muzakir ketika membelah semangka itu tiba-tiba saja menyembur lumpur hitam bercampur kotoran hingga mengenai wajahnya. Baunya pun busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir dan permadani diruangan itu terkena percikan lumpur hitam. Mendapatkan hal itu, Muzakir marah bukan kepalang. Ia pun berlari keluar sambil berteriak-teriak. Orang-orang disekitarnya hanya tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan melihat Muzakir yang kikir terkena batunya.

Asal Muasal Burung Ruai

Konon pada jaman dahulu telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan di daerah Kabupaten Sambas, tepatnya di pedalaman Benua Bantanam di seblah Timur Kota Sakura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat. Peristiwa ini dialami oleh masyarakat suku Dayak yang menghuni daerah tersebut. Menurut masyarakat setempat bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan kecil yang letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Di dekat gunung tersebut terdapat sebuah gua yang bernama Gua Batu, yang didalamnya terdapat aliran sungai yang banyak ikannya. Selain itu konon di Gua Batu tersebut dihuni oleh seorang kakek yang sakti mandraguna.
Kisah ini di mulai dengan seorang raja yang memerintah pada sebuah kerajaan kecil. Sang raja yang terkenal arif dan bijaksana ini mempunyai tujuh orang putri yang cantik-cantik, sedangkan permaisurinya telah lama wafat. Di antara ketujuh orang putrinya yang bungsu, sehingga biasa disebut “si bungsu”. Selain memiliki paras yang cantik, si bungsu juga mempunyai budi pekerti yang baik, suka menolong dan taat kepada orang tua. Oleh karena itu tidak heran apabila sang ayah sangat menyayangi dirinya. Lain halnya dengan keenam kakaknya mereka mempunyai budi pekerti yang buruk, suka iri hati, membantah orang tua dan malas bekerja. Setiap hari kerja mereka hanya main-main saja.
Latar belakang sifat yang sangat berbeda inilah yang menyebabkan sang ayah menjadi pilih kasih pada putri-putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak si bungsu dimarahi oleh sang ayah, sedangkan si bungsi sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan sang ayah yang demikian, sehingga keenam kakak si bungsu menaruh dendam dan amarah pada adiknya sendiri. Bila sang ayah tidak ada di tempat, maka sang kakak tak segan-segan melampiaskan rasa dendamnya pada adiknya. Mereka memukul habis-habisan tanpa ada rasa belas kasihan, sehingga tubuh si bungsu menjadi kebiru-biruan. Dengan demikian si bungsu menjadi takut kepada kakaknya, dan apa yang diperintahkan oleh keenam kakaknya mau tidak mau harus diturutinya, seperti mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan si bungsu biasa disuruh mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk menemani keenam kakaknya. Semua pekerjaan dikerjakan oleh si bungsu sendirian, sedangkan kakak-kakaknya hanya bersenda gurau saja.
Pada suatu waktu sang ayah melihat tubuh si bungsu kebiru-biruan sepertinya telah dipukuli seseorang. Si bungsu takut mengadu pada sang ayah karena diancam terus menerus oleh sang kakak. Sedangkan keenam kakak si bungsu mengatakan pada ayahnya bahwa tubuh si bungsu dipukuli oleh tetangga karena ketahuan mencuri pepaya. Tentu saja hal itu hanya bohong belaka, karena sebenarnya si bungsu telah di cubit oleh kakaknya. Karena kelihaian berbicara sang kakak, akhirnya sang ayah mempercayainya dan tidak mempermasalahkan lagi dan tinggallah si bungsu hanya bisa meratapi nasibnya.
Begitulah kehidupan si bungsu sehari-hari bersama keenam kakaknya yang sangat jahat padanya. Bila sang ayah berada di rumah, maka mereka bersikap baik dan sayang pada si bungsu tetapi bila sang ayah tidak ada di rumah, maka ke enam kakaknya akan bersikap sebaliknya. Meskipun demikian si bungsu masih bersikap sabar menghadapi perlakuan kakak-kakaknya, namun terkadang ia menangis tersedu-sedu menyesali dirinya mengapa sang ibu begitu cepat meninggalkan dirinya. Karena dahulu hanya pada sang ibulah tempat dia mengadu dan memperoleh perlindungan. Kini setelah ibunya wafat, ia hanya bisa mengharapkan perlindungan sang ayah, namun karena kesibukan ayahnya sebagai seorang raja yang sibuk dengan urusan kerajaan, maka hal itu tidak bisa diharapkannya.
Pada suatu hari, sang raja memerintahkan seluruh penghuni istana untuk mendengarkan sebuah pengumuman. Sang raja kemudian mengumumkan bahwa ia akan segera meninggalkan kerajaan selama satu bulan untuk berangkat ke kerajaan lain untuk mempererat hubungan kekerabatan. Tidak ketinggalan ketujuh putri raja mendengarkan berita tentang rencana keberangkatan ayahnya ke kerajaan lain. Pada pertemuan itu pula, diumumkan bahwa selama sang raja tidak ada di tempat, maka untuk sementara kekuasaan dilimpahkan pada si bungsu. Dengan demikian segala urusan yang menyangkut kerajaan harus dengan persetujuan si bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakak si bungsu menjadi terkejut, mereka sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya akan melimpahkan kekuasaan pada adiknya, bukan pada dirinya. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati bagi kakak si bungsu. Dan timbullah niat yang jahat di hati mereka masing-masing untuk melampiaskan rasa dengkinya pada si bungsu, bila ayahnya telah berangkat nanti.
Para prajurit sangat sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan sang raja di perjalanan. Setelah segala sesuatunya telah siap, maka berangkatlah sang raja dengan pasukan berkuda yang disertai bendera kerajaan, dengan disaksikan oleh ketujuh orang putrinya dan seluruh rakyat di kerajaan tersebut.
Tak terasa waktu kian berlalu, dan telah satu minggu sang raja meninggalkan kerajaannya. Sementara itu keenam kakak si bungsu menyusun suatu rencana yang akan mencelakai si bungsu. Tak tanggung-tanggung, sang kakak akan berusaha melenyapkan si bungsu dengan cara apapun termasuk membunuhnya dengan caranya sendiri.
Setelah rencananya sudah tersusun rapi, maka pada suatu siang keenam kakak si bungsu memanggil si bungsu. Ternyata keenam kakaknya memanggil dirinya untuk mencari ikan (menangguk) dalam bahasa melayu dengan alat yang dinamakan Tangguk. Tangguk ini terbuat dari rotan yang bentuknya seperti bujur telur. Tentu saja ajakan kakaknya ini disambut gembira oleh si bungsu, karena mengira bahwa kakaknya mau berteman dengannya. Si bungsu tidak mengetahui maksud yang tersembunyi dibalik ajakan itu, dan ia hanya mempercayai tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
Tanpa berpikir panjang, maka berangkatlah ketujuh orang putri raja ini dnegan masing-masing membawa tangguk. Dan terasa sampailah mereka di lokasi menangguk ikan pada sebuah gua batu yang didalamnya terdapat sungai yang berisi banyak ikan. Si bungsu sangat gembira dapat menangguk ikan di tempat itu, dan si bungsu diajak oleh kakaknya lebih dalam lagi agar memperoleh ikan yang banyak. Karena gembira si bungsu tidak memperhatikan sekelilingknya, dan diam-diam keenam kakanya telah meningggalkan si bungsu seorang diri di dalam gua tersebut. Sementara itu kakaknya telah bergegas menuju mulut gua dan mereka berharap agar si bungsu tidak menemukan jejak mereka. Setelah sampai di luar gua, mereka semua tertawa terbahak-bahak sebab rencananya berhasil menipu si bungsu yang amat dibencinya dan akhirnya mereka pergi meninggalkan gua itu.
Sementara itu di dalam gua, si bungsu mencari keenam kakaknya. Ia mencari-cari di mana gerangan kakaknya berada. Keadaan gua yang mulai gelap gulita membuat ia kebingungan mencari arah mulut gua dan sampai akhirnya si bungsu tersesat dan hanya bisa menangis memanggil kakaknya.
Si bungsu kini menyadari bahwa ternyata keenam kakaknya telah mencelakainya dan sengaja meninggalkan dirinya sendiri di gua batu tersebut. Dan kini si bungsu hanya bisa duduk bersimpuh di atas sebuah batu pada aliran sungai tersebut dan meratapi nasibnya yang telah dipermainkan oleh kakak-kakaknya. Si bungsu hanya bisa menangis siang dan malam, sebab tak satu orang pun yang mendengar tangisannya dan dapat menyelamatkan dirinya keluar dari dalam gua tersebut. Ia hanya ditemani gelapnya gua serta ikan yang berenang ke sana ke mari menyaksikan penderitaannya.
Tanpa terasa tujuh hari tujuh malam sudah si bungsu terkurung dalam gua batu itu, namun ia belum menemukan jalan keluar. Namun si bungsu terus menerus berdo’a dan bertahan hidup dan berharap suatu saat nanti pertolongan akan datang. Tanpa disangka-sangka oleh si bungsu, tepat pada hari ketujuh terjadilah suatu peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu. Terdengar suara gemuruh yang menggelegar seakan-akan ingin merobohkan gua batu tersebut. Menyaksikan hal itu si bungsu menangis menjerit-jerit ketakutan. Pada saat-saat yang mendebarkan itu, dengan disertai suara yang menggelegar dan asap yang mengepul, maka muncullah seorang kakek tua renta yang sakti, tepat dihadapan si bungsu. Kehadiran si kakek sakti itu benar-benar mengejutkan si bungsu. Tak lama kemudian, kakek itu berkata, “sedang apa kamu disini cucuku?”. Si bungsu yang masih ketakutan menjawab, “Hamba disini sedang menangguk ikan, dan tak bisa pulang karena hamba ditinggalkan oleh kakak-kakak hamba, kek”. Tak lama kemudian si bungsu menangis senjadi-jadinya sehingga airmatanya tak tertahankan lagi, ia menangis dan menangis dan air matanya tak terbendung lagi. Menyaksikan hal itu, sang kakek menjadi sangat terharu. Karena kesaktian sang kakek sehingga titik-titik air mata si bungsu yang terus menerus keluar secara perlahan-lahan diubahnya menjadi telur-telur putih yang banyak sekali jumlahnya. Setelah tetes air mata si bungsu diubahnya menjadi telur-telur, maka sang kekek saktipun mengubah si bungsu menjadi seekor burung yang sangat indah bulunya. Walaupun si bungsu telah berubah menjadi burung, namun ia masih dapat berbicara seperti manusia, kemudian sang kakek berkata pada si bungsu yang telah berubah menjadi burung. “Cucuku, aku akan menolong dirimu dari kesengsaraan yang menimpamu, tapi dengan cara engkau ku ubah menjadi seekor burung, yang kuberi nama Burung Ruai, dan apabila aku telah hilang dari pandanganmu, maka eramilah telur-telur itu supaya jadi burung dan ia menjadi temanmu!” Kemudian si Bungsu yang telah menjadi burung secara spontan menjawab pembicaraan si kakek dengan jawaban “Kwek….Kwek….Kwek,,,,,”. Bersamaan dengan itu sang kakek sakti itu menghilang bersama asap yang mengepul memenuhi gua batu itu. Tak lama setelah sang kakek sakti itu menghilang, maka secara spontan burung ruai langsung mengerami telur-telur tadi sehingga berubah menjadi burung-burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan memenuhi gua batu itu. Dan burung ruai itu berterbangan keluar gua melalui celah gua batu itu. Burung-burung ruai itu terbang yang arahnya menuju rumah si bungsu. Burung-burung ruai itu hinggap pada sebuah pohon tepat di depan rumah si bungsu dengan suara, “Kwek…Kwek….Kwek…..Kwek”. Si bungsu yang berubah menjadi Ruai itu menyaksikan kakak-kakaknya dihukum ayahnya karena ketahuan dengan sengaja menyingkirkan adiknya. Sang ayah menghukum kakak si bungsu sebagai akibat perbuatannya yang mencelakai adik kandungnya sendiri.
Setelah kejadian yang menimpa si bungsu dan mengubahnya menjadi seekor burung Ruai di gua batu itu, maka gunung di mana terdapat batu itu di sebut Gunung Ruai sampai sekarang ini. Bila cuaca cerah maka Gunung Ruai ini akan terlihat dengan bentuknya yang memanjang.

Life Without Limits

Pengarang: Nick Vujicic
Penerbit: Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Jumlah Halaman: 253
Jumlah Exemplar: 2
Jumlah Exemplar: 3
Life Without Limits adalah buku inspiratif yang ditulis oleh orang biasa. Nick Vujicic, yang terlahir tanpa lengan dan tungkai, mengatasi cacat tubuhnya dengan menjalani kehidupan yang tidak hanya mandiri, tapi juga kaya dan penuh menjadi teladan bagi siapa pun yang mencari kebahagiaan abadi. Dia sekarang merupakan pembicara motivasi yang sukses secara internasional. Pesan utamanya: tujuan terpenting siapapun adalah menemukan tujuan hidup, terlepas dari kesulitan apa pun atau rintangan apa pun yang sepertinya mustahil dilalui.
Nick menceritakan cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya saat berusaha mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja, dan menjelang dewasa muda. "Untuk waktu yang terasa sangat lama dan sepi, aku bertanya-tanya apakah ada orang lain dunia yang seperti aku, serta apakah ada tujuan lain dalam kehidupanku selain rasa sakit dan terhina." Dia berbagi tentang bagaimana imannya terhadap Tuhan menjadi sumber kekuatan utamanya dan menjelaskan bahwa begitu dia menemukan tujuan kehidupan - menginspirasi orang lain untuk menjadikan kehidupan mereka serta dunia lebih baik- dia mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun kehidupan tanpa batas yang produktif dan membawa berkah.
Nick Vujicic adalah pembicara motivasi dan direktur organisasi nirlaba Life Without Limbs. Dia lama bermukim di Australia dan kini tinggal di Selatan California.

Perda KCKR Disahkan

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (KCKR) telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda), Kamis (10/5) di Gedung DPRD. Seluruh fraksi di DPRD menyatakan setuju agar raperda ini ditetapkan sebagai perda.Perda ini diharapkan dapat menjadi payung hukum kuat untuk pelestarian karya cetak dan karya rekam. Sebab, perda mewajibkan penyerahan salinan karya cetak dan karya rekam yang terbit di Kalbar dan atau yang berkaitan dengan Kalbar kepada pemprov untuk disimpan di perpustakaan.
Sekretaris Daerah, M Zeet Hamdy saat membaca sambutan Gubernur Kalbar mengungkapkan, dengan terbitnya Perda tentang Serah Simpan KCKR di Wilayah Kalbar, pemprov melalui Badan Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi dapat menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap sarana pendidikan yang lebih baik dan berkualitas melalui pemberdayaan perpustakaan.
“Kita sadar, bahwa karya cetak dan karya rekam adalah cerminan dari tingkat peradaban umat manusia. Bangsa yang maju dapat diketahui dari jumlah karya cetak dan karya rekam yang dihasilkannya,” tuturnya. M Zeet mencontohkan, China yang memiliki penduduk 1,3 miliar mampu memproduksi 140 ribu judul buku setahun.
Selanjutnya, Vietnam dengan penduduk berjumlah penduduk 80 juta mampu menghasilkan 15 ribu judul per tahun.
Malaysia dengan 26 juta penduduk, menghasilkan 10 ribu buku tiap tahun. “Indonesia dengan penduduk lebih dari 237 juta jiwa hanya mampu menerbitkan sekitar 10 ribu judul per tahun,” ungkapnya. Sementara untuk di wilayah Provinsi Kalbar, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2007–2011), buku yang diterima oleh perpustakaan daerah hanya sebanyak 1.016 judul buku. Dengan demikian, maka perpustakaan provinsi hanya menerima sekitar 203 judul setiap tahun.
“Apakah benar angka produk buku di Kalimantan Barat baru mencapai rata-rata 200 judul setiap tahunnya? Tentu ini perlu penelitian dan pendataan lebih lanjut,” katanya. Dalam menghimpun dan melestarikan karya cetak dan karya rekam, Sekda menghimbau untuk belajar dengan negara lain yang telah berhasil menyimpan karya rekam dan karya cetak mereka dengan baik.
“Banyak peneliti dari luar yang melakukan penelitian di Kalimantan Barat yang kaya akan flora dan fauna serta pertambangan. Kalbar surga bagi peneliti. Ironisnya, masyarakat Kalbar sendiri tidak bisa menikmati atau mempelajari hasil penelitian tersebut karena dipublikasikan di luar Kalbar,” katanya.
Permasalahan tersebut merupakan permasalahan pokok yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Terima Karya Cetak dan Karya Rekam. Menurut UU tersebut, yang wajib menyerahkan hanya penerbit, pengusaha rekaman dan importir atau orang yang memasukkan buku ke Indonesia dengan tujuan untuk diperdagangkan.
Oleh karena itu, diharapkan dengan ditetapkannya Perda tentang Serah Simpan KCKR tersebut dapat menjadi payung hukum yang kuat, dalam rangka pelaksanaan pelestarian karya cetak dan karya rekam yang terbit di Kalbar dan atau yang berkaitan dengan Kalbar.Di samping itu, melalui Perda tentang Serah Simpan KCKR, ia berharap Perpustakaan Provinsi Kalbar akan menjadi perpustakaan yang memiliki koleksi tentang Kalbar yang paling lengkap di Indonesia. Karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan kerjasama antara pengarang, penerbit, perpustakaan serta lembaga terkait lainnya.
Selain itu, untuk memajukan keberadaan perpustakaan provinsi tentunya diperlukan dukungan, baik dari SDM pengelola, sarana dan prasarana yang optimal dalam upaya keberlangsungan perpustakaan kedepannya.
Diharapkan pula, Badan Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi mampu menghimpun seluruh karya cetak dan karya rekam yang diproduksi di wilayah Kalbar untuk diolah, disimpan, dilestarikan dan didayagunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pembudayaan kegemaran membaca bagi seluruh lapisan masyarakat Kalbar. “SKPD yang terkait dengan Raperda tersebut agar segera melakukan langkah-langkah konkrit sesuai proses dan mekanisme yang berlaku,” ujarnya. Ketua DPRD Kalbar, Minsen berharap perda ini nanti dapat disosialisasikan secara luas agar seluruh masyarakat dapat mengetahuinya.(ron)
Sumber: Pontianak Post Online
Jum’at, 11 Mei 2012 , 14:32:00
Diakses: Minggu, 13 Mei 2012 | 23:11
Didokumentasikan: Minggu, 13 Mei 2012 | 23:11

Negeri Lima Menara

Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi. Itulah cuplikan cerita novel laris Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang menjadi topik Kick Andy kali ini.

Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.

“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.

Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.

Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.

Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.

Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.

”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih impiannya untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk bermimpi,”

Dapat Kan Buku ini di Perpustakaan Kalimantan Barat

Mangku Milek

Dalam silsilah Kerajaan Sintang akan ditemui dengan nama Abang Tembilang. Abang Tembilang ini memiliki seorang putra yang bernama Abang Pencin. Abang Pencin ini bergelar Pangeran Agung atau Sultan Agung. Sultan Agung juga berputera dua orang yaitu Pangeran tunggal atau Sultan Tunggal dan Nyai Cili.
Oleh karena Sultan Tunggal tidak berputra, maka putranya Nyai Cili yang bersuamikan dengan Kiyai Adipati Mangku Negara Miliki Putera Ratuan Raja Ambaloh itu yang diangkat menjadi anaknya, putra Nyai Cili itu bernama Abang Nata. Abang Nata ini kemudian diangkat menjadi pengganti Pangeran Tunggal dengan gelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin.

Friday, 11 May 2012

Ayo Membaca


Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca." Thomas Babington Macaulay (1800-1859), sejarawan Inggris.

Membaca merupakan aktivitas yang menyenangkan sekaligus mencerahkan. Membaca membantu kita lebih berwawasan, sukses, dan hidup lebih baik. Tetapi ternyata kegemaran membaca belum dimiliki mayoritas orang, sebab mereka belum mengerti berjuta manfaat dari membaca. Berikut ini adalah beberapa manfaat dari membaca, yang mungkin dapat menggugah semangat dan kemauan Anda untuk melahap isi buku-buku bacaan.