AYO KE PERPUSTAKAAN
JL. LETJEN SUTOYO NO. 6 PONTIANAK

Gedung Perpustakaan Kalimantan Barat

Gedung yang terdiri dari 3 lantai ini didirikan tahun 1985.

Ruang Sirkulasi

Tampak Ruang Sirkulasi untuk peminjaman dan pengembalian buku.

Ruang Pelayanan Internet

Terdapat 25 Unit Komputer untuk digunakan pengunjung dalam mengakses internet secara gratis

Ruang Baca

Ruang Koleksi Buku

Tuesday, 25 February 2014

Mengenal Islam Melalui Eropa

B
Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda. 

Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya. Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam. 

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk memperburuk hubungan keduanya.

Pertemuanku dengan perempuan muslim di Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam. Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan dalamnya samudra kerendahan hati.

Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.

Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber pengetahuan yang penuh damai dan kasih.

Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan

Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo, Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.

Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar umat beragama.

Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.



Menemukan Perlawanan di Sintang

Tak mudah menelusuri jejak perlawanan Kerajaan Sintang terhadap kolonial Hindia Belanda antara 1800 hingga sebelum 1945.
Minimnya penyimpanan arsip di Indonesia, membuat Prof Helius Sjamsuddin harus terbang ke Belanda untuk menemukan kepingan bab yang terpisah tentang Kerajaan Sintang, hingga menjadi tulisan utuh.
Sejak 2000, ketekunan Prof Helius Sjamsuddin meneliti Kerajaan Sintang berbuah hasil. Dan, terbitlah buku berjudul "Kerajaan Sintang 1822-1942".
Penerbit Ombak Yogyakarta bekerjasama dengan Badan Perpustakaan, Kearsipan, dan Dokumentasi Kalimantan Barat menggelar bedah buku tersebut di aula BPKD Provinsi Kalbar, Jumat (24/1/2014). Bedah buku itu juga bekerjasama dengan Tribun Pontianak sebagai media partner.
"Saya mulai meneliti sejak tahun 2000. Selama tiga bulan bolak- balik dari Den Haag-Amsterdam. Sebelumnya disertasi saya di Belanda juga tentang Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Dalam penelitian itu, saya menemukan adanya perlawanan di Sintang," kata Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini